Ketika Rezim & Media Berkolusi Bohongi Rakyat

Ketika Rezim & Media Berkolusi Bohongi Rakyat

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh Derek Manangka

SEJUMLAH warganet meributkan pertemuan Gubernur DKI Jaya Anies Baswedan dengan Presiden Turki di Istambul, baru-baru ini. Yang pro menginterpretasikan pertemuan tersebut sesuatu yang luar biasa.

Betapa tidak. Recep Tayyip Erdogan, seorang Presiden dari sebuah negara Islam dan berpengaruh dalam percaturan politik internasional, menyambut Gubernur DKI secara bersahabat.

Penyambutan itu seolah menyiratkan, Anies yang masih berstatus Gubernur, tapi sudah diperlakukan sebagai (calon) Presiden.

Gubernur berasa Presiden. Sah dan tidak ada yang salah. Bukti penyambutan yang sangat bersahabat dikuatkan dengan rekaman video dan foto-foto serial. Video dan fotonya, disebar melalui media sosial.

Tafsiran saya, pendukung Anies ingin mengesankan, Gubernur DKI sudah mendapat dukungan dari Pemimpin Dunia Islam �" bila Anies akhirnya ikut kontestasi Pilpres 2019. Dukungan itu, setidaknya bisa menjadi modal politik.

Atau kalau luar negeri saja mendukung Anies, apa iyah di dalam tidak ada dukungan? Yah sah dan masuk akal.

Sementara yang anti-Anies, tak mau kalah. Berbagai argumentasi mereka ajukan, untuk menggembosi kekuatan politik yang coba disosialisasikan oleh pro-Anies. Antara lain dikatakan, Anies-lah yang menunggu Erdogan. Bukan bla-bla-bla.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia media, sejak tahun 1974, saya menilai inilah salah satu bentuk "perang media". Media dijadikan infrastruktur pertarungan.

Di era sebelumnya, "perang media" juga ada. Tetapi magnitude-nya tidak sekuat seperti sekarang.

"Perang Media" di era digital menjadi cukup bergema, sebab disokong oleh kehadiran internet dan media sosial. Di era sebelumnya, ketika belum ada internet, hampir tak pernah terjadi bantah-membantah lewat media seperti yang terjadi dalam soal pertemuan Anies �" Erdogan. Masyarakat harus menerima apa yang dikatakan oleh sebuah sumber. 

Di era represif, zaman Orde Baru, zaman yang ikut membentuk karakter kewartawanan saya, wartawan, tidak bebas memberikan informasi yang benar kepada pembaca atau pemirsa. Masyarakat pun tidak bebas menafsirkan sesuatu sesuai kehendak atau seleranya.

Media melakukan "framing" tapi konteksnya berbeda dengan cara zaman now. Di awal tahun 1990-an saya mengalami langsung atau menjadi salah seorang wartawan Indonesia yang ikut melakoni peran-"membohongi masyarakat”.

Dari sisi hati nurani, saya tidak suka berbohong. Tapi dari sudut untuk menyambung hidup, "berbohong kadang-kadang atau kadang-kadang berbohong ” menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Dan peran berbohong itu, saya lakoni ketika bekerja sebagai wartawan harian "Media Indonesia”. Suratkabar milik Surya Paloh. (Saya keluar dari grup "Media Indonesia” 19 September 1999).

Posisi Surya Paloh ketika itu berada dalam situasi yang dilematis. Dia seorang kader Golkar sejak usianya baru 16-an tahun. Tapi tahun 1990-an itu, ia berhadapan atau berseberangan dengan Harmoko, Ketua Umum DPP Golkar.

Harmoko juga merangkap sebagai Menteri Penerangan. Sebagai Menpen, Harmoko memiliki kewenangan tunggal membredel atau menutup media. Dan "Media Indonesia” berada dalam posisi terancam ditutup. Karena "pengganti” harian "Prioritas” ini, kebijaksanaan redaksioalnya, dianggap tidak pro-Golkar.

Hal yang membuat Surya Paloh dan Harmoko tambah berseberangan. Surya tidak melihat Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar yang pantas. Surya tidak punya empati dan respek terhadap Harmoko, semenjak harian "Prioritas” yang menjadi kebanggaannya, tanpa ba bi bu, dibredel Harmoko pada Juni 1987. Ini persoalan pribadi bercampur psikologis.

Kepentingan Surya Paloh dan Harmoko sebagai sama-sama kader Golkar, juga berbeda. "Media Indonesia” harus bisa mengoreksi hal-hal yang tidak benar yang ada di pemerintahan Soeharto. Presiden RI yang ke-2 ini, harus bebas dari "pembohongan’ yang dilakukan oleh kaum penjilat.

Lewat "Media Indonesia”, Surya Paloh tidak pernah mengolok-olok Harmoko sebagai “HARi-hari oMOng KOsong. Tetapi selentingan, satire Surya Paloh yang berbentuk lain, tetap juga sampai ke pendengaran Harmoko.

Hal mana mungkin membuat Harmoko semakin tidak suka terhadap Surya Paloh. Sehingga permusuhan di balik senyum antara Surya Paloh dan Harmoko, tak terhindarkan. Permusuhan di balik senyum ini, menimbulkan persaingan baru. Bersaing untuk lebih dekat dan dipercaya oleh Presiden Soeharto.

Untuk bersaing, Surya Paloh terkendala. Sebab dari sisi formalitas dan porto folio, Surya bukanlah sosok yang punya hak bisa berbicara langsung dengan Soeharto. Putera Aceh yang besar di Medan ini, tak kehabisan akal. Untuk akses ke Soeharto, dia manfaatkan jalurnya melalui Bambang Tri-salah seorang putera Presiden Soeharto.

Surya Paloh yang menjadi pendiri FKPPI (Forum Komunikasi Putera Putri Purnawirawan ABRI), mengajak Bambang Tri bergabung sekaligus menjadi pengurus. FKPPI saat itu merupakan ormas sipil yang memiliki pengaruh. Sebab "warna ABRI”nya, cukup disukai karena di era itu merupakan zaman keemasannya ABRI.

Akses ke Jl. Cendana, kediaman Soeharto, serta merta terbuka. Untuk masuk Cendana, Surya tidak perlu lewat pintu depan. Tapi lewat pintu belakang, yaitu masuk dari rumah Bambang Tri, di Jl. Cemara (?).

Entah bagaimana acara itu terjadi. Tetapi peristiwa yang mempertemukan Surya Paloh dan Presiden Soeharto akhirnya menjadi sebuah keniscayaan. Hal mana menjadi penolong dan penentu karir Surya Paloh sebagai pemilik media.

Saat Surya Paloh menggendong Panji, putera Bambang Tri, Presiden Soeharto selaku eyang, kakek, kemudian mencium pipi sang cucu. Momen itu kemudian direkam oleh Sersan Satu Saidi, juru foto pribadi Presiden Soeharto.

Foto ini menggambarkan, betapa dekatnya hubungan Suya Paloh dan Presiden Soeharto. Padahal foto itu sudah "di-framing". Kedekatan dalam gambar itu, akhirnya dimaksimalisasi redaksi "Media Indonesia”. Dimuat halaman depan harian itu.

Tak dinyana, foto tersebut, menjadi "viral”. Dalam arti dimut berkali-kali oleh harian “Media Indonesia”. Pemuatan gambar itu secara berkali-kali dilakukan secara sadar.

Redaktur "Media Indonesia” mana kala mendengar kabar atau selentingan isyu bahwa Menpen sedang mempersiapkan surat pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) atau pembredelan, gambar itu langsung dimuat di penerbtan "Media Indonesia" keesokan harinya.

Di era Orba, setiap media harus punya izin terbit. Dan entah apakah pemuatan foto itu efektif atau tidak, yang pasti selama Harmoko menjadi Menpen di era Soeharto, pembredelan atas “Media Indonesia” tak pernah terjadi.

Unsur kebohongan dalam pemuatan foto ini terletak pada aktualitas. Dengan memuatnya (berkali-kali), seolah-olah foto itu berceritera tentang sebuah peristiwa yang masih aktual.
Dengan memuatnya berkali-kali "Media Indonesia” sebetulnya telah melakukan ‘pembohongan’ dari sisi akualitas dan informasi yang kredibel.

Tetapi saya membela pembohongan itu, karena demi keselamatan usaha penerbitan. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi, bila harian "Media Indonesia” dibredel. Ratusan karyawan akan menganggur dan semua yang berada dalam tanggungan, terkena imbas negatifnya. Kalau saya jadi penganggur, siapa yang mau menolong? 
Pada tahun 1993, saya kembali "berbohong” atau menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Saat itu Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Non Blok, berkunjung ke Tokyo untuk menghadiri KTT G-7.

Kelompok Tujuh yang terdiri atas Kanada, Amerika, Jepang, Itali, Prancis, Jerman dan Inggeris tersebut, tidak bersedia menerima tamu negara lain. G-7 (Group of Seven) lebih memprioritaskan Presiden Rusia Boris Yeltzin.

Penolakan anggota-anggota G-7 terhadap Presiden Indonesia, membuat Jepang selaku tuan rumah berada dalam posisi dilematis. Sebab saat itu Jepang merupakan investor asing terbesar di Indonesia.

Sifat "ke-Asia-an” Jepang yang santun dan peka terhadap perasaan orang lain, semakin membuatnya sulit mengatakan “tidak” kepada Indonesia. Selain itu, sehari sebelum KTT G-7 dibuka, Presiden Soeharto selaku wakil dari 110-an negara anggota Gerakan Non Blok, sudah hadir di Tokyo.

Hal mana membuat posisi Jepang sebagai tuan rumah, semakin dilematis. Pemerintah Jepang bekerja sama dengan protokol Indonesia, akhirnya membuat pertemuan Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Jepang.

Sebelum itu , Presiden Soeharto dipertemukan dengan Presiden AS, Bill Cinton. Kedua pertemuan di Tokyo itu, berbeda tempat dan waktu. Tapi kesan kuat bahwa pertemuan itu dalam lingkup KTT G-7 dibuat sedemikian rupa, supaya orang kritis pun tidak curiga.

Sekitar 10 menit menjelang pembukaan KTT, pesawat Garuda yang membawa pulang Presiden Soeharto ke Jakarta, lepas landas dari bandara Haneda, Tokyo. Artinya Presiden Soeharto tidak hadir di KTT G-7

Kami, semua wartawan yang meliput perjalanan Presiden Soeharto, seperti koor, sama-sama melaporkan bahwa Ketua GNB sudah kembali ke tanah air, setelah menyampaikan aspirasinya kepada Kelompok Tujuh. Untuk menyembunyikan kebohongan, laporan dilengkapi dengan uraian, aspirasi GNB itu diterima oleh tuan rumah Jepang.

Sebelumnya Presiden RI bertemu dengan Presiden AS, Bill Clinton. Pertemuan dengan Bill Clinton, dikapitalisasi, sebab Amerika memiliki pengaruh besar di Kelompok Tujuh.

Belakangan baru saya tahu, bahwa pejabat Indonesia yang mengatur perjalanan Presiden Soeharto ke KTT Tokyo, sebetulnya sudah tahu. Bahwa Forum G-7, tidak bersedia mendengarkan aspirasi negara-negara (miskin) anggota GNB yang mau disampaikan Presiden RI.

Tetapi karena ingin mendapatkan kredit poin dari Presiden Soeharto, maka pejabat penghubung ini, memberi informasi yang salah. Celakanya, sekalipun informasinya tidak benar, yaitu G-7 tak akan menerima Ketua GNB, namun Pak Harto justru tersanjung. Akhirnya wartawan diminta untuk berperan. Dilakukan lah kebijakan yang sifatnya sebuah "kebohongan secara massal”.

Oktober 1995, seusai menghadiri KTT GNB di Cartagena, Kolombia, Presiden Soeharto terbang ke New York. Acara utamanya menghadiri perayaan 50 tahun PBB.

Di sela-sela acara itu, Presiden Soeharto mengadakan sejumlah pertemuan diluar Markas Besar PBB. Di antaranya dengan Perdana Menteri Israel Yizthak Rabin. Pertemuan Soeharto-Rabin di Hotel Waldorf, Manhattan, New York, merupakan yang kedua kalinya. Yang pertama Oktober akhir 1992, di Jakarta.

Yitzhak Rabin sendiri saat itu terbang ke Jakarta langsung, hanya selang beberapa hari setelah Soeharto terpilih sebagai Ketua GNB. Pertemuan Soeharto-Rabin yang kedua kalinya, rupanya mendapat penolakan oleh sejumlah kalangan di Jakarta.

Tapi penolakan itu baru terpantau oleh intelejens setelah Presiden Soeharto berada di New York. Sementara itu, jadwal pertemuan itu sendiri sudah tercantum dalam Buku Agenda Perjalanan Presiden, yang dicetak di Jakarta. Sehingga untuk membatalkannya tidak mungkin atau serba sulit.

Secara tak terduga, menjelang pertemuan Soeharto -Rabin, di pintu masuk lobi hotel, terjadi insiden kecil. Pengawal PM Yitzhak Rabin, nyaris berkelahi dengan anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Masing-masing sudah mengeluarkan pistol genggam. Apa persisnya yang menjadi pangkal pertengkaran, tidak ada yang tahu.

Yang pasti kejadian itu langsung menjadi berita di media-media Amerika, khususnya kawasan New York. Sadar bahwa peristiwa insiden itu, tak mungkin disembunyikan, wartawan Indonesia, mau tak mau ikut melaporkannya.

Memang waktu melaporkannya ada waktu yang cukup. Sebab selisih waktu New York-Jakarta, 12 jam. Insiden itu dilaporkan, tetapi yang dikapitalisasi atau dibesar-besarkan adalah pertemuan Soeharto-Rabin terselenggara secara mendadak. Dan yang meminta bertemu, PM Israel.

Bagaimana bisa dibilang mendadak? Wong acara itu sudah tercetak di Buku Agenda Perjalanan Presiden.
Percetakannya pun di Jakarta. Tapi sebagai wartawan Indonesia, saya dan teman-teman sadar, mengapa kami tidak boleh melaporkan fakta yang sebenarnya, punya alasan yang kuat.

Wartawan juga dituntut tanggung jawab nasionalnya. Tidak sekedar profesionalitas. Berita yang merugikan Presiden, harus diminimalkan atau dibuang. Sebab Presiden, merupakan Lambang Negara

Kalau tidak, kami bisa dituduh sebagai wartawan yang tidak bertanggung jawab dan tak punya rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu kami bisa dianggap sebagai wartawan yang tidak punya wawasan serta tidak tahu etika dan kepatutan. [rmol]

*Penulis adalah Wartawan Senior
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita