www.gelora.co - Pemerintahan di era Presiden Joko Widodo ini belumlah berubah bagi kemajuan masyarakat Indonesia di daerah-daerah. Nyatanya, pengelolaan pemerintahan dan pengelolaan negara masih saja sentralistik, tidak beda dengan era presiden-presiden Indonesia terdahulu.
Ketua Umum Dewan Ekonomi Indonesia Timur (DEIT) Annar S Sampetoding mengatakan, meski di era Jokowi ini sudah ada perubahan, seperti dalam hal penyampaian aspirasi tidak melulu melalui lembaga-lembaga seperti Lemhanas atau lembaga lainnya, namun sentralisme pemerintah dan negara masih bercokol kuat.
Pola pengelolaan yang sentralistik ini, menurut Annar, tidak akan membawa banyak manfaat bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah.
"Memang pemerintahan sekarang pemikirannya lebih kongkrit dan efisien, tidak melulu harus lapor lembaga ini itu lagi, karena masalah Iindonesia semakin hari semakin kompleks. Tetapi, Pemerintah Pusat saat ini pun tidak mau berubah. Indonesia ini terlalu luas hanya diatur Jakarta saja,” tutur Annar S Sampetoding kepada redaksi, Sabtu (14/4).
Memang, lanjut dia, adanya pro kontra dari prediksi yang menyebut bahwa Indonesia bisa bubar jika masih dikelola secara sentralistik, perlu dipikirkan secara obyektif.
Sebab, lanjut Annar, meski diakui bahwa sosok Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia cukup disenangi oleh sebagian besar masyarakat, namun warning yang sempat dilontarkan Prabowo Subianto soal Indonesia bubar 2030 juga tidak boleh dianggap remeh.
"Saya setuju dengan warning Prabowo untuk kita ambil dari sisi positifnya,” ujarnya.
Bagi Annar, warning itu juga sebagai peringatan bagi Pemerintah Pusat hari ini, bahwa kalau sistim pemerintahan sentralisasi dipertahankan seperti ini terus, Indonesia akan hilang.
"Seperti nasibnya Uni Soviet dan lainnya,” ujar Annar.
Sebagai seorang pengusaha yang berasal dari Kawasan Indonesia Timur, lanjut Annar, dia sering melihat langsung ketimpangan yang jauh antara Pulau Jawa, khususnya Jakarta dengan kondisi di daerah-daerah.
"Di Indonesia Timur sangat merasakan ketimpangan,” ujarnya.
Dia pun memperingatkan, walau sebanyak apapun uang yang dimiliki Indonesia, jika pengelolaannya tidak merata dan tidak adil karena masih menerapkan sentralisme, maka semua itu hanya kesia-siaan saja, takkan sanggup menyejahterakan masyarakat.
"Biar uang satu gunung membangun infrastruktur, tetapi kalau perihal yang prinsip tidak berubah, ya sama dengan membuang garam di laut,” ujarnya.
Dia mengaku, pada awal pemerintahan, Annar berada dalam satu garis seperjuangan dengan Jusuf Kalla, untuk membangun Kawasan Indonesia Timur yang lebih baik dan lebih sejahtera masyarakatnya.
"Saya sudah sejak 1989 bersama Pak Jusuf Kalla, seperjuangan untuk perubahan Indonesia Timur, tetapi setelah beliau menjadi Wakil Presiden, ya terlupa perjuangan kita bersama,” demikian Annar.[rmol]