Oleh: Denny JA*
Politik yang kompetitif justru akan menguntungkan rakyat banyak. Kubu yang bersaing akan berlomba menarik hati dan pikiran pemilih dengan menawarkan program dan team kerja yang paling memenuhi harapan.
Bagaimana membuat pilpres 2019 menjadi kompetitif? Salah satu jawabnya, itu akan terjadi jika Gatot Nurmantyo dicalonkan oleh Prabowo Subiyanto (Gerindra) dan SBY (Demokrat) menjadi penantang Capres Jokowi. Apalagi jika dalam rombongan Prabowo-SBY, PKS dan PAN, plus PKB ikut serta.
Mungkinkah itu terjadi? Politik adalah seni kemungkinan. Kecuali pohon kelapa tiba tiba berubah menjadi pohon pepaya, segala hal mungkin terjadi dalam politik.
Mungkin menangkah Gatot yang didukung penuh oleh Prabowo dan SBY? Ini harus dijawab dengan data dan preseden yang pernah ada.
Berdasarkan tradisi pemilu langsung presiden di Indonesia, pilpres baru berlangsung tiga kali: 2004, 2009, 2014. Dalam tiga kali pilpres itu, dua kali incumbent, pertahana presiden yang tengah menjabat, bertarung kembali.
Bagaimana hasilnya? Megawati selaku incumbent/pertahana, dikalahkan SBY di 2004. Tapi SBY selaku pertahana di tahun 2009, menang telak. Pilpres 2014 tak melibatkan pertahana. Kini 2019, pertahana kembali terlibat.
Apa hasilnya jika melawan pertahana? Dalam sejarah indonesia, kemungkinan menangnya 50:50. SBY berhasil kalahkan pertahana di 2004. Tapi Mega dan JK gagal kalahkan pertahana di 2009. Statistik mencatat kemungkinan menang atau kalah melawan pertahana presiden 50:50.
Tapi bukankah hasil survei Jokowi vs Gatot Nurmantyo hari ini cukup jauh berjarak? Memang demikianlah jika pemilu masih lama, H- 11 bulan. Pertahana muncul di media setiap hari. Siapapun penantangnya hanya muncul di media, public expose, kadang kadang saja.
Jokowi sudah dikenal oleh di atas 90 persen pemilih. Gatot baru dikenal oleh kurang dari 60 persen pemilih. Jika Gatot dikenal pemilih seluas Jokowi, situasi akan berbeda.
Di tahun 2003, saya banyak menemani SBY. Berdasarkan survei saat itu, jelaslah Megawati jauh melampui SBY. Tapi saya ikut meyakinkan SBY bahwa ia bisa mengalahkan Megawati. Saat itu, Megawati dikenal oleh lebih dari 90 persen. Tapi saat itu, yang mengenal SBY masih di bawah 60 persen. Tapi dari yang mengenal SBY, mereka lebih banyak yang suka SBY.
Sejarah pilpres apalagi pilkada, banyak kasus, pertahana yang pada H-11 bulan unggul telak, tapi di hari pemilu ternyata kalah. Di samping kasus pertahana Megawati di pilpres 2004, juga kasus pertahana Fauzi Bowo di pilkada 2012, Bibit Waluyo di Jawa Tengah 2013. Kasus paling anyar adalah dikalahkannya Ahok di tahun 2017, setelah H-11 bulan ia menang telak di semua survei.
Jokowi kini memang menang telak dalam aneka survei. Namun banyak isu yang mulai menggerogotinya dan emosional bisa mempengaruhi kantong besar pemilih. Kalangan bawah tak nyaman dengan kondisi ekonomi, terutama isu harga sembako, pengangguran, dan kepemilikan rumah.
Isu tenaga kerja asing, suka atau tidak, tak terhindari ataupun tidak, cukup emosional meningkatkan persepsi negatif terhadap Jokowi. Isu soal Islam politik tak kalah emosionalnya.
Meluasnya hastag #2019presidenBaru itu bukan kegenitan pemain soc med belaka. Hastag ini punya akar kuat di benak pemilih. Hanya saja sentimen itu belum menyatu pada satu tokoh, dan belum menemukan para DON pemain politik utama selaku pengusungnya.
-000-
Di Indonesia masa kini banyak politisi. Tapi kualitas DON, atau pusat politik hanya ada pada empat tokoh: Jokowi karena ia presiden. Megawati karena ia pimpinan partai terbesar. SBY karena ia mantan presiden dan ketum partai. Prabowo karena ia tokoh paling populer nomor dua saat ini dan ketum partai.
Jika Jokowi bersama Mega dan SBY melawan Prabowo, pertarungan tak seimbang. Tapi jika Jokowi bersama Mega melawan Prabowo bersama SBY, pertarungan akan kompetitif.
Prabowo ingin mencalonkan dirinya. SBY ingin mencalonkan putranya AHY. Mungkinkah mereka berjumpa berdua dan kompromi: Gatot Nurmantyo!
Segala hal mungkin terjadi. Memang jika akhirnya SBY dan Prabowo bersama mencalonkan Gatot Nurmantyo, pilpres 2019 akan sangat kompetitif. Negara manapun akan diuntungkan jika politiknya kompetitif.
Jika akhirnya Gatot dicalonkan oleh kerjasama Prabowo dan SBY, tentu saja belum pasti pertahana akan dikalahkan. Tapi pilpres 2019 memang akan sangat sangat sangat kompetitif (tiga kali sangat). [swa]
*Penulis adalah Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI)