Fuad Bawazier |
www.gelora.co - Fuad Bawazier memang cuma sebentar menempati kursi Menteri Keuangan di era Orde Baru. Namun pengalamannya sebagai Menkeu boleh dibilangkhas. Sebab saat menjabat Menkeu pada 16 Maret 1998-21 Mei 1998, saat itu krisis ekonomi di Indonesia sedang hebat-hebatnya. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat itu anjlok demikian dalam.
Kini nilai tukar rupiah sedang terpuruk. Pada akhir pekan bahkan sempat menyentuh level Rp 14.000 per dolar AS. Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, saat ini nilai rupiah sudah di bawah nilai wajar atau undervalued. Menurut dia, pelemahan itu terjadi karena berbagai faktor, mulai dari ketidakpastian ekonomi global, perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS), dan adanya ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tahun ini.
Kepada Rakyat Merdeka Fuad membagikan pendangan sekaligus sarannya kepada pemerintah terkait pelemahan rupiah yang terjadi saat ini.
Bagaimana Anda melihat sikap pemerintah dalam menangani fenomena pelemahan rupiah yang terjadi baru-baru ini?
Soal rupiah itu pemerintah sudah punya jurus untuk jawab. Kalau lagi melemah selalu bilang faktor eksternal. Kalau lagi menguat bilang itu berkat kebijakan pemerintah. Itu sudah standar. Jadi (persoalan) ekonomi, tapi dijawabnya politik. Hal itu dilakukan untuk menjaga image-nya tetap bagus, untuk menunjukkan kalau ekonomi Indonesia itu bagus. Jadi kalau lagi menguat bilang ini karena kebijakan pemerintah berjalan dengan baik, dan efektif. Padahal paket-paket kebijakan saja banyak yang masuk keranjang sampah, enggak ada yang jalan. Contohnya izin saja kan enggak ada perubahan. Mahal izin-izin itu kan. Padahal Darmin Nasution pernah bilang, tiga jam...enam jam izin beres. Nyatanya enggak ada yang jalan tuh.
Lalu kalau menurut Anda, apa persoalan utama dari kondisi pelemahan nilai tukar rupiah ini?
Jadi memang banyak faktor yang tidak mendukung. Satu faktor neraca perdagangan kita yang memang berat. Neraca kita itu sering defisit. Misalnya ekspor yang tiga bulan berturut-turut turun, yaitu Desember, Januari, dan Februari. Kemudian Maret surplus tetapi kecil. Tiga bulan yang turun berturut-turut itu defisit sampai 1,1 miliar dolar AS. Berarti itu kan mengurangi cadangan, karena dapatnya cuma sedikit jika dibandingkan dengan hasil impornya.
Jadi industri manufaktur kita yang pada waktu Orde Baru mencapai 40 persen, sekarang di bawah 20 persen. Jadi menyusut. Padahal andalan ekspor kita dari manufaktur. Ekspor andalan dulu ada, kalau sekarang kita belum ada ekspor andalan lagi. Sekarang paling kalau ekspor cuma komoditas, tambang digali dari tanah, kemudian batu bara dijual. Kalau dulu pakai manufaktur kan.
Manufaktur itu dulu menyumbang 30 persen dari PDB (Produk Domestik Brutto) kita. Sekarang di bawah 20 persen, makanya berat. Pertumbuhannya juga hanya 5 persen, enggak cukup untuk menyerap tenaga kerja setiap tahunnya. Apalagi tingkat pertumbuhan itu banyak yang karena kapital intensif. Jadi jelas pertumbuhannya tidak bisa menyerap sebanyak yang dulu. Kita butuh pertumbuhan sebanyak 8 persen, untuk bisa seimbang dengan jumlah pengangguran. Karena itu meski mata uang lain juga menurun, tapi tidak setajam rupiah.
Berarti anjloknya nilai rupiahyang terjadi saat ini karena neraca perdagangan Indonesia sedang negatif dong?
Iya, negatif. Tambah satu lagi, impor kita itu sekarang kan lagi tinggi. Kalau dulu pemerintah memang betul, impor tinggi itu karena naiknya bahan baku yang akan diproses untuk ekspor. Jadi memang ada impor barang-barang modal. Nah, alasan itu enggak bisa dipakai lagi sama pemerintah sekarang. Alasan itu gombal, data BPS (Badan Pusat Statistik) enggak ngomong begitu.
Lho kenapa enggak bisa?
Sekarang itu tinggi karena barang konsumsi. Sekarang kan inflasi sudah bagus ya. Tapi sebentar lagi akan tertekan, karena kita kan banyak konsumsi barang impor, sementara dolar menguat, sementara rupiah melorot. Dengan begitu harganya akan mahal. Harga barang impor sebentar lagi bakal naik nih di pasaran, dan inflasi akan terpangaruh. Jadi pemerintah pakai lagu lama untuk sekarang enggak cocok. Kalau dulu betul. Toh dulu juga tingginya impor enggak pernah lebih tinggi dari ekspor. Itu pun impornya barang-barang modal dan bahan baku ekspor, bukan barang konsumsi seperti sekarang.
Sekarang Indonesia sedang mengalami tahun politik. Kalau menurut Anda hal itu berpengaruh enggak sih?
Iya, makanya sekarang orang akan berpikir-pikir kalau mau berinvestasi. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung saja itu misalnya. Banyak investor dari Cina yang berhenti untuk menanamkan modalnya. Dia takut juga, apakah Jokowi itu akan langgeng, dia enggak yakin Jokowi akan bertahan lagi. Jadi barang-barang investasi ke Indonesia itu akan berhenti, karena kalau nanti ada perubahan pemerintahan berarti kan ada perubahan policy, jadi pada nahan.
Berarti kalau tahun politik sudah selesai, kondisi rupiah bisa jadi akan membaik lagi dong?
Belum tentu berpengaruh kalau enggak ada policy baru. Karena paket kebijakan pemerintah kemarin itu banyak yang nyebur laut semuanya, 15 paket itu nyebur laut semuanya itu. Karena memang enggak efektif, cuma di atas kertas. Jadi sekarang dia (pemerintah) enggak berani mengeluarkan paket lagi, yang ada malah yang kontroversial, soal tenaga kerja asing.
Tenaga kerja asing itu yang dipersoalkan adalah karena yang masuk itu yang bisa dikerjakan orang kita. Orang kita banyak yang nganggur kok.
Tenaga kerja kasar harusnya jangan impor, itu satu. Kedua, mereka banyak yang datang pakai visa turis kok dibiarkan. Enggak sportiflah. Saya enggak yakin benar-benar ditindak itu. Itu kan juga menyebabkan banyak pengangguran. Jadi pemerintah jangan terlalu banyak membela diri, orang-orang kritik dimarahi.
Menurut anda sampai kapan pelemahan rupiah ini akan terjadi?
Menurut saya sepanjang tahun ini boleh saja naik-turun, tapi kecenderungan jangka panjangnya pasti akan melemah. Karena ancamannya banyak. Selain tadi yang saya bilang, ada juga ancaman dolar yang akan menguat, karena Pemerintah AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi tahun ini. Itu kan sudah diumumkan. Nilai tukar yang hampir menyentuh Rp 14.000 itu sangat memprihatinkan, karena itu akan mendorong inflasi dalam negeri.
Bisa diceritakan perbedaannya kondisi sekarang dengan jaman Anda dulu?
Dulu pemerintah itu mempunyai andalan untuk ekspor. Sehingga selama pemerintah Orde Baru dan setelahnya ekspor kita itu selalu surplus. Artinya neraca perdagangannya surplus, karena ekspor itu lebih besar dari impor. Dan surplusnya itu jumlahnya signifikan selama Orde Baru.
Kalau sekarang kan gantian, setelah surplus, lalu defisit, setelah itu surplus lagi begitu terus. Cadangan dolar kita yang ada di BI itu kan dari uang utang, sama orang yang berspekulasi (hot money). Dia investasinya minim sekali.
Lalu apa yang harus dilakukan BI dan pemerintah?
BI kan cuma mengelola uang negara saja, yang harus bertindak adalah pemerintah. Pemerintah harus punya policy yang mampu menciptakan produk-produk unggulan untuk ekspor. Dulu kan banyak unggulan untuk ekspor, seperti kayu, tekstil, dan lain-lain. Itu pun sudah pada hilang, kayu hilang, tekstil hilang, enggak punya produk unggulan untuk ekspor. Jadi harus dibuat lagi dong produknya.
Kemudian impor barang-barang konsumsi itu sudah harus disetop. Masa garam sekarang impor. Dulu mana ada garam impor? Sekarang kan semuanya impor, bahkan bawang kadang juga impor. Jadi pemerintah juga harus melakukan langkah yang riil, jangan hanya mendebat saja. Semua orang yang mengkritik dimarahi, jangan. [rmol]