www.gelora.co - Memaafkan pelaku kejahatan dan atau restorative justice bisa dilakukn jika kejahatan tersebut bersifat personal. Sementara, tindak pidana penodaan agama adalah delik formil tak perlu dibuktikan apakah ada kelompok orang yang dirugikan.
Delik ini tidak ditujukn untuk melindungi individu, tetapi untuk melindungi akidah agama masyarakat agar tercipta ketentraman dan kedamaian.
Demikian dikatakan Dewan Pakar ICMI Pusat Anton Tabah Digdoyo saat dimintai pendapat mengenai kemungkinan kasus penistaan agama yang dilakukan Sukmawati Soekarnoputri dihentikan polisi.
"Pengalaman saya menjadi penyidik selama 35 tahun, cabut laporan polisi maupun restorative justice hanya untuk kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan anak di bawah umur atau tindak pidana yang bersifat delik aduan," ujarnya.
Dia mempertanyakan, bagaimana laporan kasus penghinaan agama dicabut, sementara yang menjadi “korban” adalah agama dan umat agama yang jumlahnya ratusan juta orang.
"Apakah ada lembaga yg berhak mewakili umat dan agama sebagai korban?" tanya dia lagi.
Anton menegaskan, pencabutan laporan juga restorative justice pada kasus penodaan agama sangat bertentangan dengan konsepsi negara hukum, kepastian keadilan dan persamaan perlakuan.
Apalagi di saat yang sama tak sedikit tokoh Islam dipenjara dengan tuduhan hate speech personal yang kasusnya ebih ringan dan delik aduan.
"Jangan sampai kita kalah dengan negara yang belum punya UU Penistaan Agama seperti Inggris dan Amerika," sambungnya.
Anton mengingatkan kasus yang menimpa atlet Inggris Louis Smith, pemenang enam medali emas Olimpiade Brazil 2016. Sepulang ke Inggris Smith membuat video yang menertawakan adegan sholat seorang Muslim. Demi keadilan, karena Inggris belum punya UU Penistaan Agama, ia dihukum administratif cukup berat yaitu dua tahun dilarang ikut aktifitas olahraga.
Anton melanjutkan, dalam konsep Crime Control Model mengacu pada nilai yang menitik beratkan aspek perlindungan kepentingn masyrakat luas, negara wajib melindungi kepentingan agama dari setiap tindakan yang menghina dan merendahkan ajaran agama. Apalagi di Indonesia selain KUHP ada UU khusus terhadap kasus Penodaan Agama.
Kesimpulannya, pungkas Anton, memaafkan apalagi mencabut laporan kasus penodaan agama tak ada dalam klausul hukum, tidak lazim, tidak bijak dan jika dipaksakan akan jadi preseden buruk mengancam agama-agama.
"Akan makin banyak yang menista dan menghina agama padahal agama sangat dijunjung tinggi di NKRI sesuai dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa, selain setiap WNI wajib beragama. Juga, setiap gerak langkah bangsa Indonesia wajib dalam panduan Tuhan Yang Maha Esa, merujuk pada Pasal 29 ayat 1 UUD. [rmol]