www.gelora.co - Pemerintah didesak segera melakukan evaluasi dan merombak sistem pendataan warga miskin di Kementerian Sosial (Kemsos).
Data yang ada saat ini, sebanyak satu jutaan warga tidak ter-cover dalam berbagai program bantuan tunai dan pangan untuk rakyat miskin. Diantaranya, adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Beras Sejahtera (Rastra) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Ketua Umum Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Marlo Sitompul mengatakan, PKH adalah program bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), sementara Rastra atau BPNT adalah bantuan pangan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
"Sudah belasan tahun pemerintah Indonesia menjalankan berbagai program bantuan tunai dan pangan untuk rakyat miskin, masih saja data dipermainkan dan tidak valid. Segera rombak dan perbaiki Basis Data Terpadu (BDT) itu,” jelas Marlo Sitompul, kepada redaksi, Sabtu (14/4).
Selain melakukan perbaikan, SPRI juga mendesak pemerintah dan DPR agar mengubah kriteria warga yang dikategorikan miskin. "Kriteria miskin dan garis kemiskinan itu harus diubah,” ujarnya.
Untuk itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun harus diperbesar untuk bantuan kepada warga mismin. "Perbesar APBN untuk Bansos PKH-Rastra,” ujarnya.
Dan yang lebih penting lagi, lanjut Marlo, keterlibatan masyarakat miskin itu sendiri sangat dibutuhkan dalam menyusun kebijakan terhadap rakyat miskin. "Libatkan Rakyat Miskin dalam setiap penetapan kebijakan penanganan kemiskinan,” ujarnya.
Dia menyerukan, rakyat miskin perlu perlindungan sosial partisipatif yang dapat mensejahterakan.
Untuk menyalurkan program PKH dan Rastra, pemerintah melakukan penggolongan keluarga miskin dengan mengacu pada survei BPS dan Kemensos.
Pertama-tama, data survei tersebut menggolongkan 40% keluarga dengan pendapatan terendah sebagai "rumah tangga miskin."
Dari 40 persen rumah tangga miskin itu, 25 persen terendahnya ditetapkan sebagai keluarga "sangat miskin dan miskin" yang berhak mendapatkan Rastra.
Dan 10 persen terendahnya ditetapkan sebagai keluarga "sangat miskin" yang berhak mendapatkan PKH.
Adapun 15 persen sisanya dari 40 persen rumah tangga miskin ditetapkan sebagai lapisan "hampir miskin" dan dianggap tidak pantas menerima PKH dan Rastra.
Dipaparkan Marlo, dalam program PKH dan Rastra/BPNT ini, terdapat berbagai masalah pendataan.
Masalah-masalah pendataan itu, pertama untuk mengidentifikasi penerima bantuan sosial (termasuk Rastra dan PKH) berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan, pemerintah membuat sistem pendataan yang disebut Basis Data Terpadu (BDT). "BDT tahun 2017 bersumber dari hasil sensus penduduk 2015 oleh BPS. Artinya, penyaluran Rastra dan PKH seharusnya didasarkan pada BDT tahun 2017 tersebut,” ujarnya.
Namun, basis data yang digunakan untuk penyaluran Rastra dan PKH pada 2017 tidak konsisten. Data penerima Rastra dan PKH tersebut tidak sepenuhnya bersumber pada BDT tahun 2017.
Menurut dia, banyak penerima Rastra dan PKH yang bersumber dari data hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011. Akibatnya, pada penyaluran tahun 2017, banyak penerima bantuan yang tidak bisa mencairkan kartunya karena datanya bersumber dari PPLS 2011.
Kedua, dalam BDT tahun 2017, terdapat banyak data yang tidak akurat, seperti tidak sesuai kriteria, tidak ditemukan keberadaannya, dan sudah meninggal. "Ada yang sudah mampu tapi menerima PKH, ada juga yang malah tergolong rumah tangga sangat miskin tapi tidak menerima PKH,” ujar Marlo.
Berdasarkan pantauan SPRI, lanjut dia, terdapat 10 dari setiap 100 penerima sasaran yang tidak sesuai kriteria, tidak ditemukan dan telah meninggal dunia. "Secara nasional kami menduga ada 1 Juta data seperti ini,” ujarnya.
Ketiga, untuk memperbaiki BDT agar akurat dan tepat sasaran, sejak 2015 pemerintah membuat mekanisme pemutakhiran data yang bernama Mekanisme Pemutakhiran Mandiri.
Melalui MPM, warga yang belum terdaftar bisa mendaftarkan diri di daerahnya. "Masalahnya, informasi pelaksanaan MPM tidak diketahui oleh rakyat. MPM 2018 berjalan tanpa pengawasan oleh rakyat. Hal ini tentu berdampak pada hasil MPM yang tidak akurat,” tutur Marlo.
Keempat, sistem 'ranking' dan penetapan data sasaran penerima bantuan sosial, termasuk Rastra serta PKH, tidak membuka ruang yang melibatkan rakyat.
Penetapan itu, dikatakan Marlo, dilakukan secara sepihak oleh Kemensos dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). "Akibatnya, masih ada 13 juta keluarga miskin yang tidak tercatat sebagai penerima Rastra dan PKH. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan rakyat,” katanya.
Sekjen SPRI Dika Moehammad menambahkan, selain masalah pendataan itu, masalah penting lainnya terkait program bantuan sosial yakni program ini cenderung menjadi alat elit politik untuk meraih dukungan.
Munurut Dika, politisasi program bansos untuk kepentingan sempit elit merupakan sebuah kejahatan.
"Misalnya, penerima Rastra dan PKH di Jawa Timur lebih banyak daripada di Jawa Barat, padahal jumlah penduduk Jawa Barat lebih banyak daripada Jawa Timur. Diduga hal seperti ini terjadi karena adanya kepentingan politik salah satu kandidat,” ujar Dika.
Dia mengingatkan, pada tahun 2017 di Jawa Barat tercatat sebanyak 1.025.988 Keluarga Penerima PKH, tahun 2018 bertambah 419.741 Keluarga, totalnya menjadi 1.445.729 Keluarga.
Di Jawa Timur, tahun 2017 tercatat sebanyak 1.077.294 Keluarga Penerima PKH, tahun 2018 bertambah 435.334, totalnya menjadi 1.512.628 Keluarga. "Ini menunjukan bahwa penambahan data lebih banyak di Jawa Timur,” ujarnya.
Persoalan lainnya yang tak kalah penting, banyaknya tindak penyelewengan dalam penyaluran Rastra dan PKH. Misalnya, masalah pungutan liar (pungli) oleh e-warung atau pendamping PKH. "Ada juga masalah ratusan kartu yang disita oleh pendamping PKH. Lalu, ada juga duit PKH yang dibawa lari pendamping PKH atau diambil perangkat desa,” kata Dika.
Namun, warga enggan melaporkan dikarenakan selalu ditekan dan malah diserang balik oleh penguasa. "Warga miskin biasanya tidak berani melaporkan masalah ini, karena oleh pendamping atau penyelenggara program diancam tidak akan mendapatkan bantuan sosial. Mereka yang melaporkan pun juga mendapat ancaman dari penyelenggara,” pungkas Dika.[rmol]