Oleh: Ir. Iwan Sumule
JIKA saja senyuman yang dilempar, atau lambaian tangan seperti selayaknya dilakukan para pesohor juga petinggi negara, barangkali tak jadi buah bibir.
Di sela kunjungannya ke daerah, ia membagikan barang kepada rakyat yang berada di sisi jalan dengan cara melempar-lempar. Dalam video rekaman Romahurmuzy yang sempat viral dan menjadi polemik, juga nampak jelas bagaimana Jokowi membagikan barang dengan melempar langsung ke arah rakyat.
Boleh jadi pembisik Jokowi memberi saran demikian agar citra dekat dengan rakyat semakin terpatri. Tapi jika dipikir sekali lagi, apakah tepat jika seorang pemimpin mewujudkan kepeduliannya kepada rakyat dengan cara melemparkan barang? Kenapa tidak berhenti sejenak dan membagikan secara manusiawi agar pencitraan itu semakin sempurna.
Barangkali orang menilai hal tersebut sebagai soal teknis, meskipun sebagian lain menyoalnya sebagai perkara etika.
Namun yang lebih substansi dari semua itu adalah, jika seorang pemimpin ingin benar-benar hadir di hati rakyatnya, maka yang diperlukan bukanlah pencitraan, melainkan keberpihakan.
Sebagai penguasa hari ini, yang harusnya dikeluarkan oleh Jokowi bukan opini, bukan pula citra diri, melainkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat Indonesia.
Saya tekankan sekali lagi, rakyat Indonesia, bukan rakyat asing yang datang berduyun sebagai pekerja di saat rakyat kita susah setengah mati mendapat pekerjaan.
Jika partai di mana Jokowi bernaung, pernah demikian kritis terhadap “Bantuan Langsung Tunai” di era SBY sebagai suatu tindakan atau kebijakan yang tidak mendidik dan cenderung melemahkan rakyat, maka apakah solusi terbaik untuk mengentaskan kemiskinan rakyat Indonesia dengan memberikan “Bantuan Langsung Lempar”? Saya pikir, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak bisa diwujudkan dengan Bantuan Langsung Lempar.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah soal serius menyangkut nasib ratusan juta rakyat. Dan itu hanya bisa diselesaikan dengan keberpihakan penguasa terhadap rakyatnya.
Hal yang seharusnya dilakukan dalam waktu yang tersisa ini adalah berupaya sekuat tenaga untuk menepati daftar panjang “Berpuluh Janji” yang terucap saat kampanye, mewujudkan Nawacita yang sudah jarang disebut-sebut lagi, dan berpegang pada prinsip Trisakti apapun resikonya.
Kesejahteraan rakyat tidak tercukupi dengan pencitraan, rasa lapar rakyat tidak dikenyangkan dengan senyuman, kedekatan penguasa dengan rakyat seharusnya bukan kedekatan artifisial.
Kedekatan dengan rakyat adalah keniscayaan bagi penguasa yang kebijakan-kebijakannya pro rakyat.
Tanpa semua ikhtiar itu, maka rasanya ajal politik Jokowi selesai di tahun 2019. Sebab rakyat akan dengan sendirinya mencari pemimpin baru yang berpihak dan keberpihakan itu tercermin dari kebijakan-kebijakan sang pemimpin.[rmol]
*Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan