Oleh : Abdurrahman Lubis*
Melihat karikatur Tempo yang menggambarkan seorang berjubah dan bersorban dengan seorang wanita seksi di depannya, sebenarnya itu sudah mengejek secara “telak”, atau bahasa kerennya Trial by Press (pengadilan/main hakim sendiri gaya Pers/wartawan), terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS), Imam Besar FPI yang sudah cukup dikenal sepak terjangnya untuk Islam.
Tempo sebagai majalah yang “Enak Dibaca dan Perlu”, semestinya dapat mempertahankan motto itu, jangan sampai berbalik menjadi “Tak Enak Dibaca dan Tak Perlu”. Semestinya Tempo secara lembaga dapat membedakan antara Goenawan Mohamnad (yang berfikir liberal) dengan Tempo yang moderat dan cerdas, sekalipun GM adalah “Men behind the gun” Tempo.
Trial by the press sebenarnya tak boleh terjadi lagi di tengah era global digital, dengan pesaing sosmed yang gencar. Apa untungnya Tempo membuat karikatur itu kalau bukan sekadar politisasi berita ? Padahal kan kasus HRS masih belum layak tayang alias summir.
Kenapa sesekali Tempo tidak mewawancarai (indeep news dan cover both side) secara khusus tentang HRS dan sepak terjangnya? Sehingga masyarakat tahu duduk persoalannya? Kenapa waktu kasus Kartika Thaher dulu di hight court (pengadilan tinggi) of Singapore, Tempo tegar sampai dibredel, kasus Pak De juga Tempo tampil prima, kenapa kasus-kasus penistaan orang/agama Islam Tempo tampil “malu-malu” ? Saya yakin Tempo belum tercabut “urat malu”-nya.
Karikatur bukanlah berita, tapi opini.
Ia mewakili sikap penerbitnya. Jadi, begitulah pandangan Tempo secara lembaga terhadap HRS, ulama besar yang diakui oleh teman dan lawan. Masyarakat masih yakin bahwa Tempo tidak mungkin merangkap “Kantor Perwakilan JIL” , apalagi Syiah, apalagi Islam Nusantara.
Tempo semestinya, tetap menjaga independensi. Seperti dulu lagi, sering mewawancarai tokoh-tokoh agama dalam rangka pencerahan ummat. Sehingga masyarakat tidak merasa tertekan dan tidak terwakili sekadar dalam pelaksanaan hukum-hukum Allah Swt. [swa]