www.gelora.co - DPR telah mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Di dalamnya diatur mengenai tugas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang salah satunya adalah mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Merespons hal ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Pemuda (GP) Ansor mengatakan
tidak jelas yang dimaksudkan dengan langkah hukum dan atau langkah lain itu.
"Namun, Revisi UU MD3 jelas telah membuka peluang kriminalisasi oleh parlemen terhadap rakyat Indonesia yang diwakilinya. Hal ini adalah suatu ironi. Parlemen secara etimologis berasal dari kata Prancis, parler yang maknanya berbicara (to speak), tapi parlemen Indonesia justru membuat aturan yang hendak mengkriminalisasi rakyat ketika menyampaikan pendapatnya," bunyi siaran pers LBH GP Ansor kepada SINDOnews, Rabu (14/2/2018).
"Ironi selanjutnya ketika di dalam aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan kriminalisasi terhadap anggota DPR jika yang merendahkan kehormatan adalah mereka sendiri. Sementara kita juga mengetahui bahwa Anggota DPR 'dipersenjatai' dengan Hak Imunitas. Dengan demikian, rakyat yang akan menjadi korban kriminalisasi, sedangkan anggota DPR RI aman berlindung pada Hak Imunitas."
Menyikapi sejumlah polemik dalam UU MD3, LBH GP Ansor menyampaikan beberapa sikap, yakni, pertama LBH GP Ansor tegas menolak aturan yang mengkriminalisasi warga negara. Setiap warga negara berhak untuk memberikan kritiknya atas kinerja anggota dan lembaga DPR. Eskpresi dari masing-masing warga negara yang berbeda-beda retorikanya, terkait latar belakang pendidikan, tingkat ekonomi, dan sebagainya, tidak boleh dipandang sebagai bentuk "penistaan" terhadap anggota dan lembaga DPR, apalagi harus dijerat dengan hukum.
Kedua, LBH GP Ansor berpandangan bahwa revisi UU MD3 justru perlu secara eksplisit mengatur tugas MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap anggota DPR yang terbukti merendahkan martabat lembaganya. MKD setidaknya menyarankan Anggota DPR yang terbukti melanggar Kode Etik untuk mundur demi menjaga marwah dewan.
Ketiga, LBH GP Ansor meminta dengan hormat kepada Presiden agar tidak menyetujui/tidak menandatangani Revisi UU MD3. Meskipun suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari sejak disetujui bersama maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan, namun sikap politik Presiden untuk tidak menandatangani Revisi UU MD3 akan menjadi bukti keberpihakannya kepada rakyat.
Poin empat, LBH GP Ansor bertekad untuk memperjuangkan hak dasar warga negara yang terancam oleh Revisi UU MD3 dengan mempersiapkan pengajuan permohonan pengujian UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kelima, LBH GP Ansor siap membela warga negara yang menjadi korban kriminalisasi Revisi UU MD3 dalam memperjuangkan keadilan. Demikian pokok-pokok sikap dan pandangan ini kami sampaikan. (sn)