www.gelora.co - Penunjukan dua perwira tinggi polisi menjadi pelaksana tugas gubernur di Jawa Barat dan Sumatra Utara menimbulkan polemik. Publik justru gelisah dan khawatir akan netralitas pelaksanaan pilkada di dua wilayah tersebut, mengingat ada peserta pilkada yang berasal dari Polri dan TNI.
Menjawab kegelisahan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto beralasan penunjukan itu adalah bagian dari mengamankan pilkada. Ia meminta masyarakat tidak khawatir karena kalau para pjs gubernur itu berpihak, kelak mereka akan bisa diusut.
"Pejabat ini kan ada sumpahnya. Kalau memang enggak netral ya tangkap saja,” kata Wiranto
Alasan keamanan juga disampaikan Ketua Tim Nasional Pemantau Pemilu Natalius Pigai. Ia menyebut Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Barat termasuk kategori daerah rawan konflik saat pilkada.
Dan lagi-lagi, Natalius menyebut negara harus menjaga agar rakyat atau para calon tidak mengapitalisasi opini SARA dalam pilkada. ''Karena negara ambil tanggung jawab menjaga stabilitas sosial dan politik. Dan itu jangan dulu melihat sebagai intervensi TNI dan Polri dalam ranah sipil,'' jelas Natalius.
Secara teknis, Natalius menyebut rivalitas calon di Sumatra Utara antara Djarot versus Edy Rahmayadi sangat kuat. Pendukung PDIP dan pendukung pemerintahan, kata dia, luar biasa melawan pendukung Edy Rahmayadi.
Sementara Mantan Pangkostrad ini memiliki kekuatan yang sangat kuat. Bagaimanapun tentara itu kan mengenal jiwa korsa. Selain itu dukungan massanya juga besar.
"Jadi biar di Sumatera Utara itu kondusif. Itu luar biasa dan tak melanggar aturan apapun,'' kata Natalius berdalih.
Logika yang berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria. Penunjukan dua pejabat gubernur dari Polri justru memunculkan keresahan. Muncul ketidakstabilan dari karena dari awal masyarakat justru bertanya-tanya dan berprasangka akan netralitas.
"Di Jawa barat ada TNI ada polisi. Kata yang TNI kenapa nggak milih militer. Di Sumut juga begitu. Kenapa polisi, kenapa nggak dari militer, kan gitu," ujar Riza.
Isu netralitas, menurut Riza adalah hal yang sangat penting. Jabar dan Sumut dianggap rawan. "Justru itu kalau menjaga kerawanan, dimulai dengan memastikan keadilan. Kesetaraan, itu konsepnya. Kalau ada penunjukan pjs polisi di sana maka bukan menjaga (menghindari) kerawanan, justru menimbulkan kerawanan," ujar Riza.
Lalu bagaimana kalau dilihat dari sisi aturan perundang-undangan?.
Politikus PDIP Arteria Dahlan menilai, tidak ada pelanggaran terhadap undang-undang Pilkada maupun ketentuan peraturan perundang-undangan. Arteria menyebut Mendagri juga telah mendasarkan pada ketentuan Pasal 4 Ayat 2 Permendagri No 1 Tahun 2018, yang mengatur bahwa Plt Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintah pusat atau provinsi sampai pelantikan Gubernur.
Arteria juga menyebut Kemdagri memiliki wewenang dalam menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) maupun Penjabat Sementara (Pjs) gubernur tiap provinsi, sehingga usulan penunjukan Plt/Pjs merupakan muntlak menjadi kewenangan Kemendagri.
"Jadi permasalahannya bukan mereka dari Institusi Polri atau bukan, permasalahannya adalah apakah Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Irjen Pol Mochamad Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat. Sedangkan Kepala Divisi Propam Polri Irjen Pol Martuani Sormin diperbolehkan secara hukum negara atau tidak? karena setiap orang, siapapun yang memenuhi syarat menurut UU 10/2016 pasal 201 ayat 10, demi hukum berhak untuk diajukan sebagai pejabat gubernur,’' papar Arteria.
Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, secara tegas menyebut penunjukan dua oejabat Polri sebagai Plt gub Jabar dan Sumut melanggar UU. "Rencana usulan pejabat Polri untuk menjadi PJ Gubernur Jawa barat dan Gubernur Sumatera Utara sesungguhnya bertentangan dengan UU No 10/2016 tentang Pilkada,” kata Irman.
Ia menjelaskan hanya orang yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tidak boleh kepada orang yang menduduki jabatan setingkat. Hal karena hal ini bisa menyeret institusi Polri dan TNI menyalahi konstitusi, karena konstitusi sudah memberikan batasan tegas peran dan otoritas institusi Polri dan TNI yaitu menjaga kedaulatan Negara, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum.
Pimpinan tinggi madya yang dimaksud, kata Irman, sudah diatur dalam pasal UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam pasal 1 angka 7 dan 8 UU ASN, disebutkan jabatan pimpinan tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah dan pejabat pimpinan tinggi adalah Pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.
Ketentuan ini, menurut Irman, berarti bahwa hanya orang yang berada dalam jabatan ASN saja yang tergolong pimpinan tinggi madya yang dapat menjadi Plt gubernur.
Anggota Polri-TNI, kata dia, memang bisa mengisi juga. Namun anggota Polri-TNI ini haruslah berada di instansi pusat.
Perwira Polri yang dapat menjadi Penjabat gubernur, jelas Irman, harus terlebih dahulu telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bukan jabatan setingkat yang bisa dicaplok secara langsung dari Polri.
Kalau Kemendagri dengan mudah menjadikan anggota Polri sebagai personil pemerintahan, akan muncul kesan seolah Polri adalah institusi di bawah Kemendagri. Ini tentu melanggar UU. [rol]