www.gelora.co - Pekan lalu di laman ini saya soroti sisi terang dan yang tidak terlihat dari OSO (Oesman Sapta Odang).
Semuanya, sesuai dan didasarkan pada pengalaman pribadi yang tentu saja ada subyektifitasnya.
Tapi di atas itu semua, sorotan yang saya lakukan - sekedar untuk membuka beberapa tabir yang selama bertahun-tahun tertutup atau ditutupi.
Alasan untuk membuka tabir tersebut, dilakukan dengan pertimbangan, publik, semua rakyat Indonesia – tanpa kecuali, wajib dan berhak mengetahui apa dan siapa serta bagaimana rekam jejak setiap pejabat publik.
Dan untuk itu, saya kesampingkan konsekuensi munculnya pro-kontra.
Hari ini kembali saya soroti OSO.
Tetapi dari sisi prestasinya dan pandainya dia melakukan manuver politik.
Dan sebelum sampai pada kesimpulan inti, saya ingin mengajak semua politisi dan pengusaha harus mengakui keunggulan OSO.
Tidak usah malu mengakui keungggulannya. Jangan pusingkan caranya berpolitik. Sebab caranya – mungkin agak kasar atau sedikit bergaya ‘preman’. Namun yang pasti sudah terbukti – apa yang dia tuju, selalu tercapai.
Gaya OSO berpolitik, termasuk menghadapi Presiden Joko Widodo, tidak ada dalam "text book".
Tidak berlebihan kalau dikatakan, keberhasilan OSO ‘membungkem’ Prabowo Subianto dalam kepengurusan HKTI, karena ‘gaya preman’nya.
Ternyata dengan gaya itu, seorang Prabowo yang mantan Danjen Kopassus, tak bisa berbuat banyak.
Seorang pensiunan bintang tiga dibuatnya ……… (silahkan isi atau tafsirkan sendiri).
Dan nampaknya itulah eksperimen manuver yang digunakan OSO menghadapi siapa saja yang mau bersaing atau bertarung denganya.
Keunggulanya yang paling menonjol saat ini adalah bagaimana membuat Presiden Joko Widodo jauh lebih percaya kepadanya ketimbang Jenderal Wiranto.
Saya kurang paham, apakah kekurang percayaan Presiden Joko Widido terhadap Jenderal Wiranto, karena soal “ewuh pakewuh” seperti ungkapan Bahasa Jawa atau karena alasan lain.
Sebab kalau dilihat dari rekam jejak, terutama di bidang politik dan kepemimpinan, Wiranto itu unggul dalam segala-galanya dari OSO.
Wiranto hanya kalah dari sisi kepemilikan uang. Wiranto tidak punya perusahaan sekuritas seperti halnya OSO.
Tapi dilihat dari rekam jejak OSO di bidang pemerintahan, OSO ‘tidak ada apa-apanya’. Yang mengherankan, untuk saat ini, OSO mampu mengutak-utik pemerintahan Jokowi..
Banyak pengamat termasuk ahli politik menyoroti ketidak konsistenan Presiden Joko Widodo tentang rangkap jabatan, sebagai sebuah kelemahan.
Tapi tidak ada yang mengaitkannya dengan pengaruh OSO.
Dan sorotan itu mengemuka setelah Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar boleh merangkap sebagai Menteri Perindustrian.
Dalam isu ini, Presiden Joko Widodo dinilai tidak konsisten dengan apa yang diucapkannya. Atau Joko Widodo sebagai manusia biasa, sudah lupa akan apa yang pernah diucapkannya.
Setelah Airlangga, kemudian disoroti soal ketidak konsistenan Jokowi terhadap Wiranto (Ketum Hanura), Muhaimin Iskandar (Ketum PKB), Sutiyoso (Ketum PKPI), Tjahjo Kumolo (Sekjen PDIP) dan Puan Maharani (Ketua Fraksi PDIP di DPR-RI). Mereka semua harus melepas jabatan di partai kalau ingin masuk dalam ring pemerintahan.
Dengan kata lain, kalau dilihat dari perspektif masa kini, mereka semua merupakan ‘korban’ dari kebijakan Presiden Joko Widodo – yang tidak mengizinkan pembantunya merangkap jabatan.
Tapi coba lihat OSO. Dia tidak hanya merangkap. Tapi merangkap-rangkap !
Maksudnya perangkapannya lebih dari dua jabatan.
Dan dalam perangakapan itu, OSO sekaligus menabrak UU atau konvensi. Yang dimaksudkan di sini adalah keanggotaan di DPD-RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia).
Di lembaga tinggi yang sering disamarkan sebagai Senat Indonesia semua anggotanya (Senator), tidak boleh mewakili partai.
Yang dilakukan oleh OSO, pembobolan UU atau konvensi.
UU tentang keanggota DPD-RI, tidak berlaku bagi dirinya.
OSO bukan hanya sebagai anggota partai dan anggota DPD-RI. OSO merangkap Ketua Partai (Hanura) sekaligus Ketua DPD-RI.
Bisa bisa dibayangkan, kalau kedudukan rangkap itu dikaitkan dengan fasilitas seperti tumah dan mobil dinas, OSO berhak memiliki dua buah rumah dinas.
Enaaaaak tenan.
Pengawal dan mobil, kuang kebih sama. Edan banget.
Yang satu di kompleks Widya Chandra dn satunya lagi di Kompleks dekat dengan Mega
Karena OSO boleh merangkap, sejumlah senator pun lalu melakukan ‘bedol deso’. Menjadi anggota partai tanpa meninggalkan kursi di DPD-RI.
Dan terhadap hal ini, Presiden Joko Widodo, seperti tutup mata atau tidak bisa melihatnya.
Bagi saya hal ini harus dimaknai sebagai sebuah kehebatan OSO di dalam melakukan manuver.
Dalam sejarah demokrasi dan reformasi, OSO memang pantas dijuluki sebagai salah seorang pahlawan atau juru dobraknya politik yang sudah usang. Bagaimana tidak ?
Dia juga merupakan salah satu dari pendiri partai ketika semua yang merasa punya uang dan kemampuan, mendirikan partai.
Namun kegagalan membangun partainya – menjadi partai yang punya wakil atau fraksi di DPR-RI, tidak dilihat sebagai sebuah kegagalan. Kegagalan OSO membuat Partai Perwakilan Daerah (?) di tahun 2009, justru dilihat sebagai sebuah prestasi sekaligus reputasi.
Sekalipun PPD partai yang didirikannya “mati suri”, tetapi OSO mampu menembus Senayan.
Di Senayan, selain duduk sebagai Ketua DPD-RI, OSO juga merangkap jabatan Wakil Ketua MPR-RI. Hebat khan?
Presiden Joko Widodo itu, kata banyak pengamat, setelah tiga tahun di Istana, cara berpolitiknya semakin licin.
Hampir semua partai dan figur penting, dia kocok.
Artinya, perangkapan ini tidak dia sadari konsekuensinya. Jangan salah tafsir bahwa Presiden kita ini tidak mengerti politik.
Dan itu loh. Kehebatan OSO meyakinkan Presiden Joko Widodo, demikian “super duper”, telah membuat banyak kalangan gerah.
Atau mungkin Presiden memang kalah kemampuan dalam menggertak.
Sebab kemampuan OSO menggertak, dengan suara seperti siap untuk berkelahi, antara lain membuat orang bisa terkesima, termasuk Presiden.
Entah ini yang membuat Presiden Joko Widodo kagum kepada OSO.
Begitu berkualitasnya cara OSO bermanuver, sampai-sampai untuk urusan sengketa atau konflik internal Partai Hanura, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly sepertinya ‘gamang’ membuat keputusan apalagi bersikap tegas.
Kalau pernyataan Wiranto yang dijadikan ukuran, mestinya Laoly tidak perlu ragu membekukan DPP Hanura ala Hotel Manhattan, pimpinan OSO.
Wiranto secara eksplisit sudah menyatakan, pemilik partai itu ya rakyat. Rakyat itu diwakili oleh semua DPD. Kalau semua atau mayoritas DPD sudah lebih menghendaki pergantian Ketua Umum, yah tak ada yang bisa mencegahnya. Demikian kurang lebih esensi daripernyataan Wiranto.
Namun Menteri Laoly, sepertinya tidak menonton video pernyataan Wiranto tersebut. Atau karena Laoly juga takut pada gaya OSO dalam menggertak.
Apapun alasannya, sikap Menteri Laoly, bisa dimaklumi. Sebab, pastinya, dia juga melakukan telaah psikologisi terhadap bahasa tubuh Presiden. Dimana kecenderungannya lebih memihak kepada OSO.
OSO memecat Sudding sebagai Sekjen. Posisi orang Celebes ini, langsung digantikan oleh Henry Lontung Siregar (?).
Sekjen baru dari kubu Hotel Manhattan ini - kabarnya masih ada pertalian darah dengan Bobby Nasution, anak mantu Joko Widodo.
Ada kecurigaan, OSO sengaja memilih Siregar. OSO melihat titik lemah Jokowi ada di sana. Sebab secara adat Batak, Jokowi sudah punya nama baru Joko Widodo Siregar alias JW Siregar.
Setelah menjadi mertua Bobby Nasution, para pemuka adat Batak pun memberinya marga Siregar.
Di sini lagi-lagi kelihatan luar biasanya, cara OSO melakukan manuver. Tidak ada matinya.
Semoga saja saya melihat.
Pak OSO, anda memang luar biasa.
Anda mampu “membutakan” penglihatan saya – eh maksud saya, penglihatan mata jutaan rakyat Indonesia, termasuk seorang Presiden yang dipilih oleh puluhan juta rakyat Indonesia.
Kalau sudah begini, saya hanya bisa ketawa dan agak nyinyir.
Yang jadi Presiden kita saat ini, sebetulnya masih Joko Widodo atau diam-diam sudah “direbut” oleh OSO ?.[tsc]