www.gelora.co - Tersangka RIW bersama KHR telah menerima dari sejumlah pihak baik dalam bentuk "fee proyek, fee perizinan, dan fee pengadaan lelang APBD selama kurun waktu RIW menjabat sebagai Bupati," ungkap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam keterangan pers di KPK kemarin.
Menurut Syarif, tersangka diduga menerima suap dan gratifikasi mencapai Rp 436 miliar. "Kemungkinannya masih bisa bertambah," katanya.
Uang itu lalu dipakai membeli sejumlah aset yang diatasnamakanorang lain dan barang-barang mewah. Mulai dari sepatu, jam tangan, tas hingga koper mahal.
KPK telah menyita barang-barang itu dari sejumlah tempat. Untuk tas saja, terdapat 40 buah. Mulai dari merek Gucci, Louis Vuitton, hingga Hermes. Barang-barang itu diperlihatkan Syarif dalam jumpa pers.
Tim yang diterjunkan ke Kutai Kartanegara juga menyita aset berupa tiga mobil yakni Toyota Alphard Vellfire, Toyota Land Cruiser dan Ford Everest. Di Balikpapan, tim menyita dua unit apartemen.
Syarif mengungkapkan, tim KPK terus mengumpulkan bukti-bukti dugaan TPPU Rita dan Khaeruddin. "Sudah dilakukan penggeledahan sembilan lokasi. Dua rumah pribadi tersangka RIW di Tenggarong serta tiga rumah anggota DPRD juga di Tenggarong," sebutnya.
Kantor PT Sinar Kumala Naga dan rumah teman Rita di Tenggarong ikut digeledah untuk mencari barang bukti. Dari berbagai penggeledahan itu disita nota atau catatan transaksi keuangan dugaan penerimaan gratifikasi, dokumen-dokumen perizinan lokasi perkebunan kelapa sawit dan proyek-proyek Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Bukti lainnya uang 10 ribu dolar Amerika, uang Rp 200 juta dan transaksi rekening koran atas pembelian barang-barang mewah.
Rita dan Khairudin dijerat dengan Pasal 3 dan atau 4 Undang Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebelumnya, Rita dan Khaeruddin ditetapkan sebagai tersangka suap dan dan gratifikasi. Pada kasus pertama, Rita diduga menerima uang suap dari Dirut PT Sawit Golden Prima (SGP) Hery Susanto Gun (HSG) alias Abun sebesar Rp 6,7 miliar.
Pemberian suap untuk memuluskan penerbitan izin lokasi untuk keperluan inti plasma perkebunan sawit di Desa Kupang Baru, Muara Kaman. Penyuapan terjadi sekitar Juli dan Agustus 2010.
Kasus berikutnya, Rita diduga menerima gratifikasi bersama-sama Khairudin mencapai 775 ribu dolar Amerika atau sekitar Rp 6,975 miliar dari PT Citra Gading.
Hery Susanto Gun, tersangka penyuap Rita langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan pada 19 Desember 2017 lalu. "HSG sudah ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Polres Jakarta Selatan," kata Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah saat itu.
Hery membantah menyuap Rita. Ia berdalih urusan dengan Bupati Kutai Kartanegara terkait jual beli barang. "Itu hanya jual beli emas," katanya dalam keterangan pers di Kota Samarinda, 3 Oktober 2017 lalu.
Ia menjelaskan pada 2010 membeli 15 kilogram emas milik Rita seharga Rp 6 miliar lebih. Jual beli dilakukan legal, dan uang pembayaran ditransfer lewat bank.
Rita juga pernah menyampaikan bantahan pernah menerima uang dari Abun. Namun dalih itu tak mengubah pendirian KPK. Proses hukum terhadap Rita dan Hery tetap berjalan. KPK lebih dulu menahan Rita usai menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka pada 8 Oktober 2017.
Kilas Balik
Rita Gagal Melaju Ke Pilgub Kaltim Dijebloskan Ke Tahanan
Rita Widyasari ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan ditahan. Status ini mengganjalnya mengikuti pemilihan gubernur (pilgub) Kalimantan Timur.
Awalnya, Partai Golkar mendukung Rita menjadi calon gubernur. Belakangan, partai beringin memutuskan mengusung pasangan Andi Sofyan Hasdam-Nusyirwan Ismail sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Kaltim.
Nasib serupa pernah dialamiayahnya, Syaukani Hasan Rais. Pria yang akrab disapa Pak Kaning sudah dua periode menjabat Bupati Kutai Kartanegara ingin "naik kelas" menjadi gubernur. Partai Golkar pula yang mengusungnya menjadi calon gubernur di Pilgub Kaltim 2008.
Karier politik Syaukani terjerembap lantaran dia dijerat KPK. Syaukani ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Sempat mangkir dari panggil KPK dengan dalih tengah menjalani perawatan, Syaukani dijemput paksa untuk menjalani pemeriksaan.
Kasusnya bergulir sampai ke pengadilan. Syaukani didakwa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan yaitu menetapkan dan menandatangani Surat Keputusan (SK) tentang Penetapan Pembagian Uang Perangsang atas Penerimaan daerah terhadap minyak bumi dan gas bumi sejumlah Rp 27,843 miliar.
Tindakan ini memperkaya diri sendiri dan juga orang lain orang lain sebanyak Rp 65,360 miliar. Dalam kasus ini, negara dirugikan mencapai Rp 93,204 miliar.
Tak hanya itu, Syaukani didakwa melakukan penunjukan langsung pekerjaan studi kelayakan pembangunan bandar udara Loa Kulu. Dalam pelaksanaannya Syaukani mengambil dan menggunakan dana pembangunan bandar udara yang berasal dari APBD Kutai Kartanegara tahun 2004.
Syaukani dianggap memperkaya dirinya sebanyak Rp 15,250 miliar dan Vonnie A Panambunan, Direktur PT Mahakam Diastar Internasional sebanyak Rp 4,047 miliar dari proyek tersebut.
Terakhir, Syaukani didakwa menggunakan dana kesejahteraan rakyat/bantuan sosial yang berasal dari APBD Kutai Kartanegara 2005 sehingga memperkaya dirinya sebanyak Rp 7,750 miliar.
Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), perbuatan Syaukani telah menyebabkan kerugian negara dengan total Rp 120,251 miliar.
Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Syaukani dijatuhi hukuman penjara selama 8 tahun, denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 35.593.988.279,95 subsider satu tahun penjara.
Namun Pengadilan Tipikor Jakarta dalam putusan perkara nomor 11/PID.B/TPK/2007/ PN.JKT.PST, tanggal 14 Desember 2007 hanya menghukumSyaukani dihukum penjara 2,5 tahun, denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 34.117.938.279,95 subsider satu tahun penjara.
Di tingkat banding, vonis penjara yang dijatuhkan kepada Syaukani. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan perkara nomor hanya mengubah denda yang harus dibayarkan Syaukani. Jadi Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.
Kalah di tingkat banding, Syaukani mengajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) malah memperberat hukuman Syaukani menjadi 6 tahun penjara. Uang pengganti yang harus dibayarkan Syaukani juga ditambah menjadi Rp 49.367.938.279,95 subsider tiga tahun penjara. Putusan perkara nomor 868 K/ Pid.Sus/2008 itu diketuk pada 28 Juli 2008. Upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) juga ditolak.
Syaukani dikeluarkan dari Lapas Cipinang setelah mendapat grasi. Presiden SBY memberikan diberikan grasi dengan pertimbangan kemanusiaan. Syaukani menderita sakit permanen. Terhitung sejak 18 Agustus 2010, Syaukani bebas.
Sempat dirawat di Singapura, kesehatan Syaukani tak kunjung pulih. Syaukani mengembuskan napas terakhir pada 27 Juli 2016 dalam usia 67 tahun. [rmol]