www.gelora.co - Soal populer, Anies dan Jokowi beda tipis. Elektabilitas? Belum bisa diukur, karena Anies belum ada pernyataan. Branding media, keduanya intens berjalan. Anies Gubernur DKI dan Jokowi Presiden RI. Dua-duanya diburu dan menjadi magnet media (media darling). Tinggal bagaimana kedua tokoh ini beradu pengaruh untuk dapat simpati rakyat.
Membandingkan keduanya sangat menarik karena pertama, pernah sama-sama jadi gubernur DKI. Kedua, keduanya berada dalam posisi berseberangan dan bahkan persaingan. Ketiga, sama-sama punya peluang jadi capres di 2019.
Soal DKI, keduanya bisa dibandingkan melalui pertama, konsep. Kedua, bukti kerja. Ketiga, komitmen janji. Dan keempat ketegasan dan keberanian. Pencitraan? Sudah basi.
Secara kualitatif dan branding, keempat unsur di atas menjadi estalase yang terukur dan dapat ditonton rakyat untuk membandingkan.
Soal konsep, Anies tak kalah dengan Jokowi. Jika Jokowi punya andalan Infrastruktur dan sejumlah kartu sakti, maka Anies membuat terobosan angkutan terkoneksi, DP 0%, Rumah Akuarium, Oc OCare, Ok Oce dan ada beberapa program lagi yang lain.
Program kartu sakti Jokowi, karena bermanfaat buat rakyat, tidak dihapus. Sebaliknya, oleh Anies diberi tambahan "plus". Anies juga menerbitkan Kartu Lansia serta Kartu Pangan dan Pekerja untuk para buruh. Plus inilah yang memberikan nilai tambah bagi Anies atas Jokowi.
Jika Jokowi mengandalkan kekuatan anggaran, Anies lebih memilih menggunakan kekuatan ide kreatif dan pola gerakan. Tujuannya, supaya maksimal dalam penggunaan anggaran. Efektif, sesuai sasaran dan maksimal pemanfaatannya. Anies juga membentuk KPK DKI untuk mengawal dan mengawasinya.
Soal bukti kerja, Kartu Sakti ala Jokowi telah terealisasi. Infrastruktur? Sampai tiga gubernur berikutnya masih belum selesai. LRT, proyek patungan pemprov DKI dengan pemerintah pusat ini masih dalam proses penyelesaian. Kejar target 2019 rampung. Kabarnya, karena faktor SOP yang kadang diabaikan, proyek mengalami sejumlah kecelakaan. Di beberapa lokasi ambruk.
Bagi Jokowi, proyek infrastruktur bisa jadi andalan. Satu bentuk kesuksesan Jokowi yang mesti diapresiasi. Kampanye pilpres 2019, bisa jadi bukti dan kebanggaan. Karena itu, mesti rampung saat jadual kampanye tiba.
Bagaimana dengan Anies? Jika Jokowi butuh waktu dua tahun (2012-2014), maka Anies berupaya membuktikan kinerjanya tiga bulan. Transportasi terkoneksi sudah dimulai. Rumah DP 0% sedang dibangun. Rumah Akuarium sedang jalan. KJP Plus langsung ekskusi. Begitu juga Kartu Pangan dan Pekerja untuk para buruh sudah diberikan. Juga Kartu Lansia sudah diputuskan. Community Action Plan (CAP) dan Ok OCare untuk pelayanan kesehatan sudah diluncurkan. KPK DKI sudah bekerja. Jakarta Satu untuk Sistem Pengawasan Terintegrasi juga sudah dibentuk.
Soal adu cepat, Anies nampak lebih gesit dan energik. Tanpa harus banyak bicara dan marah-marah, Anies menunjukkan kinerja yang lebih kreatif dan efektif.
Bagaimana dengan komitmen janji keduanya? Anies lebih mudah diukur. 23 janji sudah ditandatangani. Sudah pula dipublikasi. Masyarakat tinggal mengawasi dan mengoreksi: berapa janji yang nanti akan bisa dipenuhi. Sukses dan gagalnya Anies bisa dinilai semua orang. Tak ada celah untuk pencitraan. Rakyat telah memiliki standar penilaian. Tinggal hitung prosentasi 23 janji.
Media menyebut 10 janji sudah dipenuhi. Tinggal 13 lagi. Masyarakat harus terus diingatkan untuk managih bukti. Jika tuntas, Anies sukses. Jika tak semua dipenuhi, publik berhak menghukum Anies sebagai gubernur gagal.
Janji Jokowi? Tak ada angka yang pasti terkait jumlah janji. Yang jelas, cukup banyak. Biasa, di setiap pilkada, pileg dan pilpres, para calon obral janji. Mereka anggap, setelah jadi, rakyat lupa untuk menagih. Umumnya, mereka abai untuk menghitung jumlahnya, rasionya, dan juga time linenya.
Karena tak terkalkulasi persis berapa jumlah janji politiknya, maka tak mudah untuk membuat prosentase sukses gagalnya terkait janji politik Jokowi. Berbeda dengan Anies, komitmen janji Jokowi agak sulit untuk diukur. Kendati tetap bisa membacanya dari besarnya perubahan/pertumbuhan dan juga kepuasan rakyat selama Jokowi memimpin.
Setidaknya, masyarakat masih teringat beberapa janji Jokowi. Diantaranya, tidak akan menggusur. Semua bangunan rumah penduduk di atas 20 tahun, dimanapun lokasi bangunannya, akan mendapatkan hak sertifikat. Terbukti? Tidak. Sebaliknya, yang ada malah penggusuran di sejumlah tempat. Parahnya, sejumlah penggusuran dibarter Ahok dengan proyek reklamasi.
Disinilah bagian dari fakta yang membuka peluang publik, terutama pihak yang tidak suka, untuk mengkritisi Jokowi.
Terkait dengan pilpres, Jokowi punya catatan lebih serius lagi. Soal janji-janji politik, oleh publik banyak yang dianggap tak mampu dipenuhi. Pertama, bergesernya "kabinet kerja" menjadi "kabinet koalisi." Kedua, janji negara tidak hutang, malah aduhai hutangnya. Ketiga, Indosat akan dibeli kembali, buktinya banyak aset negara yang dijuali. Keempat, swasembada pangan, justru sekarang impor beras, gula dan garam. Kelima, menyiapkan 10 juta lapangan kerja, malah para pekerja China yang datang, dan jumlah pengangguran negeri ini bertambah. Keenam, Jaksa Agung non partai, NasDem malah ambil jatahnya.
Ketujuh, tak hapus subsidi BBM, tapi BBM naik di saat harga minyak dunia turun. Artinya, subsidi dikurangi. Kedelapan, banjir dan kemacetan Jakarta teratasi jika Jokowi jadi presiden, nyatanya tidak juga. Kesembilan, mobil Esemka, setidaknya hingga sekarang belum diproduksi. Kesepuluh, pertumbuhan ekonomi 8%, hingga sekarang belum pernah tercapai. Kesebelas dan seterusnya, tentu akan selalu diburu dan dicari-cari lawan politiknya.
Komitmen janji Jokowi ini menjadi titik lemah dalam persaingannya di pilpres 2019 nanti. Tim Jokowi mesti melakukan pertama, percepatan dalam menunaikan janji-janji yang masih mungkin direalisasikan. Waktu tak banyak tersisa. Kedua, mengemas program-program andalan yang sudah terlaksana menjadi tampak sangat sukses. Biar kelihatan aduhai dan luar biasa. Ketiga, mempersiapkan "double cover" untuk menangkis setiap serangan terkait janji politik yang tak mampu dipenuhinya. Buat "jurus berkelit" yang jitu.
Jika Anies ditakdirkan jadi lawannya, Jokowi diprediksi akan sangat kewalahan. Soal menyerang, Anies punya kemampuan taktis di atas rata-rata. Anies orang yang cerdas membaca dan mengoreksi data.
Jokowi tentu tak ingin Anies jadi lawan tandingnya. Caranya? Diantara pilihan yang dianggap paling cerdas adalah melakukan akuisisi. Anies jadi cawapres Jokowi. Anies bersedia? Jika jawabannya iya, Anies dipastikan akan kehilangan simpati dan muka. Terutama di hadapan para pendukungnya. Orang malah bisa menuduhnya oportunis dan pemburu jabatan.
Ketegasan dan keberanian? Jokowi dikenal publik dekat dengan taipan. Dalam beberapa hal, tak mudah bagi Jokowi untuk tegas dalam keputusan. Terutama jika menyangkut kepentingan Taipan. Tidak hanya Jokowi, umumnya presiden Indonesia mengalami hal yang sama.
Sebagai gubernur, Anies menegaskan posisinya tidak mau didekte oleh taipan. Alexis ditutup dan reklamasi dihentikan. Pembelian Rumah Sakit Sumber Waras dinego ulang karena terbukti ada kesalahan. Dan Pemprov DKI rugi 191,33 milyar. Jika tidak mau, terpaksa dibawa ke pengadilan.
Tak ada beban bagi Anies terhadap taipan membuat Anies berani dan tegas dalam mengambil setiap keputusan. Meski harus berlawanan dengan taipan, bahkan kadang harus menghadapi kekuasaan.
Dari fakta-fakta itu, Anies kuat di terobosan ide, terukur janji dan komitmennya, serta lebih punya ketegasan dan keberanian. Ini bisa Anies lakukan, karena ia bebas dari jasa dan sandera taipan. Tak banyak kepala daerah, termasuk pemimpin negara, yang mampu keluar dari jalur dan jeratan modal para taipan.
Bagaimana jika Anies jadi presiden? Samakah sikap tegasnya seperti ketika jadi gubernur? Waktu yang akan membuktikan.
Langkah-langkah Anies ini bisa dikapitalisasi timsesnya untuk menjadi brand yang akan sangat berarti untuk menandingi Jokowi di 2019.
Anies punya potensi besar menjadi pesaing terberat Jokowi di pilpres 2019. Ini tak menutup kemungkinan jika Prabowo legowo. Sebab, dibanding Prabowo, Anies lebih menjanjikan. Sebagai "King Maker", Prabowo bisa menjadi pemain yang sesungguhnya.
Jika Anies menang, maka itu juga merupakan kemenangan Gerindra. Gerindra akan terlibat bantu urus pemerintahan. Ujungnya, Prabowo juga pemenangnya.