![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVJ0gzW1rBac9u5yl8VaLvAz95K8IUGE2zMtS7SiOFIE02DkHi_vZbp-qPhqtQNe2iXTb8Swj1y4AoBg6J05T50hltthxVmrOvyuDkviOOYO5q_p7dew6DrrzChWaS5ZnyOeIbtpYY09s/s640-rw/532965_04350129122017_darmin_SMI.jpg)
Menurut SMI, defisit anggaran per 15 Desember itu masih jauh di bawah batasan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBNP sebesar 2,92 persen.
"Saya tidak setuju kalau ekonomi negara stabil dengan defisit 2,62 persen," katanya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL melalui pesan WhatsApp, Jumat (29/12).
Menurut Uchok, berdasarkan Undang-Undang APBNP, angka 2,62 persen memang masih terbilang jauh. Namun menurutnya SMI harus segera mengambil langkah antisipatif untuk menutup defisit anggaran itu.
"Untuk menutup defesit anggaran ini, solusi menteri keuangaan apa? Apa lagi yang mau 'digadaikan' Sri Mulyani sehingga bisa menutupi defesit sebesar Rp 352.7 Triliun?," ketusnya.
Langkah antisipatif itu menurut dia haruslah merupakan ide baru yang inovatif. Pasalnya, akan tidak mungkin dan sangat mustahil jika Menkeu hanya mengandalkan pemasukan negara dari sektor pajak di tengah daya beli masyarakat yang kian melemah.
"Kemungkinan Sri Mulyani, bisa hanya bisa jual surat utang negara dengan bunga yang tinggi. Jadi tetap saja, solusinya untuk menutup defisit dengan cara cari utang baru. Tetapi, kalau tahun 2018, sumber utang baru tidak diperoleh, pajak tidak bisa digenjot, solusi hanya dua, yaitu jual aset atau pemangkasan anggaran kementerian dengan alasan efesiensi anggaran," tutup pengamat ekonomi ini. [rmol]