www.gelora.co - Penghujung 2017, perjalanan bangsa kembali dihiasi pernyataan konyol dari Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi. Kabinet Kerja yang sudah meninggalkan 3 tahun pemerintahan dengan sederet masalah bangsa yang tak kunjung teratasi dan justru makin bertumpuk tumpuk seolah kabinet ini setiap bekerja hanya menghasilkan tambahan masalah baru. Setiap Kabinet ini bekerja, rakyat semakin takut karena hampir dipastikan buah kerja mereka adalah utang baru.
Terbaru kemarin adalah Menteri Pertanian yang melanjutkan daftar kekonyolan kabinet (maaf saya harus menyebutnya konyol) dengan pernyataannya terkait mahalnya harga daging. Dengan ringan dan tanpa merasa rakyat ini harus dimuliakan dan dimanusiakan, sang Menteri mengarahkan Rakyat agar beralih dari konsumsi daging ke konsumsi tutut atau keong sawah. Sang Menteri dengan mudahnya meminta Rakyat beralih makan keong sawah jika daging mahal karena protein tutut sama dengan protein daging. Sepele sekali masalahnya menurut nalar Pak Menteri hanya pada urusan protein. Pak Amran, sang Menteri Pertanian, tampaknya lupa bahwa konsumsi daging bukan hanya urusan protein, tapi menyangkut urusan rasa, jenis masakan dan kebiasaan masyarakat. Ahh sudahlah, anggap saja itu sinyal keras atau kode keras dari Mentan kepada Rakyat.
Kekonyolan seperti ini sebelumnya pernah terucap dari beberapa menteri Kabinet Kerja. Ketika beras mahal, Menko Puan pernah usulkan solusinya agar diet jangan banyak makan nasi. Ketika cabe dan bawang mahal, Mendag Enggar usulkan agar tak usah makan cabe atau tanam sendiri. Sepele sekali masyarakat ini ternyata dalam pemikiran Kabinet Kerja. Tak mampu beri solusi, maka Rakyat arahkan saja untuk lari dari realitas kehidupan. Solusi cepat dalam kategori solusi konyol.
Semua hal di atas terjadi tentu menunjukkan kualitas kinerja kabinet ini. Besar dalam retorika, nihil dalam prestasi.
Cobalah kita melihat realita saat ini, ekonomi tidak tumbuh, beku di angka pertumbuhan tidak jelas antara 4,7-5,2 % jatuh dari angka di atas 6% era SBY. Kesehatan rakyat makin terancam tak terobati karena BPJS merugi di tengah tingginya gaji Manajemen BPJS, angka kemiskinan terus bertambah tiap tahun, angka pengangguran meningkat, sulitnya mencari lapangan kerja, listrik merangkak menggerogoti hampir 30% pendapatan rakyat, BBM , gas menambah frustasi rakyat, retribusi jalan tol terus naik, dan semua itu menjadi beban hidup yang ditanggung rakyat secara langsung. Satu hal yang meningkat tajam di era Kabinet Kerja ini adalah peningkatan utang yang sangat signifikan bahkan angkanya mengalahkan 32 tahun Soeharto dan mengalahkan 10 tahun SBY.Tercatat 3 tahun Jokowi telah berhutang lebih dari 1.300 Trilliun dan itu rekor pengutang terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kembali kepada keong Pak Menteri Pertanian, sepertinya itu menjadi sinyal keras atau kode keras kepada rakyat. Rakyat harus siap-siap kepada pelambatan kesejahteraan ke depan. Ekonomi akan makin berat, kesejahteraan akan melambat seperti keong. Namun sebaliknya pemerintah ini akan berlari kencang bagai Kereta Api Cepat dalam urusan menumpuk utang. Bulan ini mungkin akan bertambah utang baru seiring obligasi yang akan dijual pemerintah di bursa Amerika sebesar 4 Milyar Dolar.
Haruskah rakyat khawatir? Tentu sudah selayaknya rakyat khawatir akan masa depan kehiduoan berbangsa dan bernegara. Rakyat telah dijadikan objek yang harus dieksploitasi di balik infrastruktur dan rakyat bukan lagi komponen yang harus dipelihara negara. Katanya rakyat tidak boleh manja, padahal adalah kewajiban negara memelihara rakyatnya bukan mengeksploitasinya. Lihatlah salah satu eksploitasi itu, jalan tol dibangun dengan utang, rakyat harus bayar utang lewat pajak juga harus bayar tarif tol untuk melintasinya, dan ironi besarnya, tarifnya terus naik.
Lantas Rakyat dapat apa? Hanya dapat eksploitasi sebagai mesin hidup pembayar utang memperkaya kaum kapitalisme yang berkolaborasi rejim neolib anti subsidi.
Selamat menikmati hidup yang berat era Kabinet Kerja. Atau mungkin lebih baik mereka berhenti kerja agar utang tidak terus menggunung.
Jakarta, 05 Desember 2017
Oleh Ferdinand Hutahean