www.gelora.co - Dalam tulisan terdahulu, saya berpendapat bahwa Anies Baswedan pantas, dan bahkan “harus”, ikut Pilpes 2019. Pertanyaannya: mengapa harus ikut?
Di thread komentar artikel sebelumnya, sebagian besar “rakyat” tidak setuju kalau Anies Baswedan diikutkan dalam pemilihan presiden mendatang. Semuanya menyebutkan alasan yang sama. Yaitu, agar Anies tidak ikut-ikutan mengkhianati aturan (konvensi) tentang penuntasan masa jabatan lima tahun.
Saya sangat memahami keberatan kawan-kawan. Dan, saya sepakat agar Anies menyelesaikan masa jabatannya lima tahun itu hingga 2022.
Rakyat di seluruh Indonesia mengalami trauma berat setelah Pak Jokowi “mengingkari” janjinya untuk mengelola DKI sampai tuntas lima tahun. Bisa dimengerti mengapa rakyat dilanda trauma ini. Sebab, langkah Pak Jokowi maju ke Pilpes 2014 meninggalkan kekecewaan dan kesan yang buruk.
Rakya (Jakarta) kecewa karena begitu banyak tugas yang ditingalkan begitu saja oleh Pak Jokowi. Sedangkan kesan buruknya adalah bahwa Pak Jokowi semata-mata hanya mengejar kekuasaan untuk memuaskan ambisi pribadi dan ambisi orang-orang tertentu yang ingin agar Indonesia ini tetap dikendalikan oleh kelompok rakus yang bekerja sama dengan tikus-tikus kekuasaan. Singkatnya, Pak Jokowi melakukan pelanggaran terhadap konvensi masa jabatan lima tahun yang telah terbangun sejak lama.
Tetapi, saya mengibaratkan pelanggaran konvensi masa jabatan oleh Pak Jokowi itu seperti kesalahan yang dilakukan dalam menyambung kayu beroti ketika Anda sedang membuat rabung atap rumah. Ketika Anda salah menggergaji dan memahat beroti pertama, maka untuk memperbaiki sambungan itu Anda terpaksa membuat kesalahan potong berikutnya. Ini tidak sama dengan memadamkan api dengan api.
Lebih jelas lagi, ketika Anda salah memahat sebatang beroti yang akan disambungkan ke beroti lain, maka beroti lain itu harus “mengikuti” kesalahan beroti sebelumnya. Seperti kita maklumi, sambungan beroti rabung atap itu dibuat berlekuk-lekuk supaya kuat dan tidak mudah goyang, selain juga untuk kerapian. Ketika kita temukan lekuk-lekuk beroti pertama keliru, maka lekuk-lekuk beroti lainnya haruslah kita potong untuk membuat lekukan yang baru.
Artinya, Pak Jokowi mewakili salah potong beroti pertama sehingga mengakibatkan beroti berikutnya harus menjadi “korban”. Anies Baswedan adalah “beroti berikutnya” dalam drama salah potong rabung atap dimaksud.
Jadi, rakyat Indonesia, mau tak mau, terpaksa mengoreksi pelanggaran konvensi masa jabatan yang dilakukan Pak Jokowi itu dengan “pelanggaran konvensi” berikutnya; dalam hal ini, “pelanggaran konvensi” oleh Pak Anies kalau beliau dimajukan sebagai capres dan terpilih. Hanya dengan “menyambung” dua kesalahan inilah kita semua akan kembali normal mempraktekkan konvensi masa jabatan yang selama ini dipatuhi oleh semua pemangku jabatan publik.
Barangkali, situasi yang ada ini bisa digambarkan dalam bentuk lain: bahwa upaya untuk menormalkan kembali konvensi jabatan lima tahun antara Pak Jokowi dan Pak Anies (andaikata beliau ini maju di Pilpres 2019 dan terpilih), lebih-kurang sama dengan menggenapkan 2.5 + 2.5 untuk mendapatkan angka 5. Tetapi, hendaklah hitungan ini tidak dipahami sebagai matematika murni, melainkan lebih banyak dalam bingkai matematika politis.
Sekali lagi, saya tidak sedang mengusulkan konsep memperbaiki kesalahan dengan kesalahan, melainkan sekadar meyakini filosofi “penyambungan beroti rabung atap yang salah potong”.
Semoga penjelasan ini dapat dipahami oleh teman-teman sekalian. Kita pastikan bahwa memahami penjelasan ini tidak berarti Anda harus menyetujui pendapat saya. Sesekali memang perlu kita berbeda pendapat untuk menikmati rahmat yang menaunginya.[tsc]