www.gelora.co - Dua orang Anggota Yayasan Sin Ming Hui (Yayasan Tjandra Naya) sejak era 1950-an angkat suara bersaksi atas kasus penjualan lahan RS Sumber Waras. Mereka mengajak menggugat penjualnya, karena lahan Rumah Sakit itu sebenarnya milik masyarakat.
Tjandra Lukito, mengatakan hal itu dalam acara "Bedah Kasus Sumber Waras" yang diselenggarakan Forum Jakarta di Gadung HWI Lindeteves, Jakarta Barat, Jumat (15/12/2017) malam. Hadir antara lain Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR), Sugiyanto, Koordinator Komunitas Tionghoa Antikorupsi, Lieus Sungkharisma, Anggota DPRD DKI, Inggrad Joshua, Pendiri Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP ), Syafti Ucok Hidayat, Aktivis muda etnis Tionghoa, Zeng Wei Jian, Pengamat Kebijakan Publik dan Transparansi Anggaran Pemerintah, Agus Chairudin, sejumlah tokoh perkumpulan Tjandra Naya.
Lukito yang merupakan anggota Yayasan Sin Ming Hui sejak tahun 1950-an bersaksi bahwa lahan RS Sumber Waras adalah milik masyarakat. Sebab, lahan dan pendirian rumah sakit tersebut dibeli oleh yayasan dari dana sumbangan masyarakat, terutama etnis Tionghoa.
"Saya kaget dan kecewa setelah tahu kalau lahan Rumah Sakit Sumber Waras diperjualbelikan. Kartini Mulyadi mengapa menjual RS Sumber Waras? Itu nggak boleh, karena lahan itu dulu dibeli Yayasan Sin Ming Hui dari hasil patungan masyarakat. Jadi, lahan itu punya masyarakat," ujar Lukito yang sudah sepuh ini.
Senada, dokter Lukman-teman seangkatan Lukito-juga mengatakan bahwa lahan dan RS Sumber Waras adalah milik masyarakat. Sehingga dia juga tidak rela aset yang milik masyarakat itu diperjualbelikan seperti milik pribadi atau korporasi.
"Sejak ayah saya aktif di Sin Ming Hui, yayasan menghimpun dana masyarakat. Ini antara lain untuk mendirikan RS Sumber Waras yang awalnya adalah sebuah klinik. Jadi RS Sumber Waras itu milik masyarakat. Tidak boleh dijual," ujar dokter Lukman yang ikut merintis cabang klinik Sumber Waras di Jatinegara, Jakarta.
Lukito bersaksi di era 1940-1950an, Yayasan Sin Ming Hui yang kemudian berubah nama menjadi Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW), merupakan yayasan sosial terbesar di Jakarta, bahkan mungkin Indonesia. Selain bergerak pada bidang kesehatan, juga pendidikan, kemanusian, olahraga dan lain-lain untuk membantu masyarakat miskin.
"Jadi RS Sumber Waras itu monumen kemanusiaan di bidang kesehatan oleh masyarakat etnis Tionghoa," ujar Lukito. Dia mendesak agar transaksi penjualan itu dibatalkan.
Sedang mantan siswa di Sekolah Sin Ming Hui, Martin, mengungkapkan lahan RS Sumber Waras dibeli pada 1955 dengan harga Rp80.000, karena harga tanah itu ditawarkan dengan harga Rp1 per m2. Namun, karena kala itu lahan sedang digarap warga, Yayasan Sin Min Hui menghabiskan dana hingga Rp300.000, karena Rp220.000 digunakan untuk membebaskan para penggarap lahan tersebut.
Seperti diketahui, lahan RS Sumber Waras dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta pada 2014. Saat itu sebagai Gubernur adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pembelian lahan untuk RSUD Jantung dan Kanker. Dari total luas lahan RSSW yang mencapai 6,8 haktare, yang dibeli Ahok lahan yang masih berstatus HGB dengan luas 3,64 hektare. Penjualnya caretaker Ketua YKSW Kartini Mulyadi.
Pembelian ini bermasalah karena dari hasil audit BPK diketahui telah terjadi mark up NJOP lahan itu dari Rp15 juta/m2 menjadi Rp20 juta/m2, sehingga Pemprov DKI dirugikan sebesar Rp191 miliar. Tak hanya itu proses pembelian terjadi berbagai kejanggalan lantaran menggunakan dana UP (Uang Persediaan) dan terjadi malam tahun baru.
Meski sempat ditangani KPK, penanganan kasus yang mendapat perhatian publik secara luas ini mandeg. Karena KPK mengaku tidak menemukan niat jahat Ahok saat membeli lahan itu, sehingga penanganan kasus tidak diteruskan. Sebaliknya, BPK yang diminta KPK melakukan audit investigasi tetap tegas mengatakan ada kerugian negara sebesar Rp 191 Miliar.
Dalam Bedah Kasus Sumber Waras semalam juga terungkap sebelum dibeli Ahok, Kartini pernah menawarkan tanah itu kepada mantan Gubernur Fauzi Bowo. Namun ditolak karena Fauzi Bowo tahu tanah itu bermasalah.
Kartini lalu menawarkan lahan itu kepada konglomerat Ciputra, dan pada 2013 salah satu perusahaan konglomerat itu, PT Ciputra Karya Unggul (CKU), memberikan DP sebesar Rp50 juta untuk pembelian lahan yang dibeli Ahok itu, dengan NJOP Rp15 juta/m2.[tsc]