Saat Ulama Menonaktifkan ‘Bom Waktu’ Kemiskinan dan Kesenjangan

Saat Ulama Menonaktifkan ‘Bom Waktu’ Kemiskinan dan Kesenjangan

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Oleh: Erdy Nasrul

Para ulama sudah membuktikan kontribusi dan gerakannya mampu menciptakan perubahan besar.

Meski sudah 72 tahun merdeka, Indonesia masih dihujani berbagai permasalahan, seperti kemiskinan serta kesenjangan ekonomi, pembangunan yang tidak merata, korupsi yang merajalela, dan banyak lagi. Semua itu menjadi perhatian ulama dari masa ke masa.

Kapasitas keilmuan mereka adalah alat untuk menganalisis dan menyelesaikan berbagai permasalahan. Pijakan mereka adalah Islam yang bukan sebatas ritual, tapi juga solusi berbagai permasalahan sosial. Sejak pertama kali berkembang di Nusantara, Islam sudah menjadi inspirasi gerakan sosial dan politik (Muhammad Hisyam: 2001).

Perdagangan antarnegara yang didominasi umat Islam di berbagai pulau nusantara merupakan contoh bagaimana Islam menjadi ruh perkembangan ekonomi. Selain itu, para saudagar Muslim juga mendakwahkan ajarannya kepada para bangsawan, sehingga para penguasa setempat memeluk Islam dan mengangkat ulama sebagai penasihatnya (Johan Meuleman: 2001, Azyumardi Azra: 2004).

Sejarah negeri ini membuktikan ulama selalu menjadi rujukan. Merekalah yang banyak menginterpretasikan dan merealisasikan Islam sebagai kekuatan perubahan sosial. Dengan kapasitas keilmuannya yang merupakan pancaran cahaya Ilahi, mereka berkontribusi memperjuangkan kemaslahatan banyak orang.

Karena itu, ulama Indonesia sangat memperhatikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka tidak mendiamkan berbagai permasalahan sosial. Masyarakat menjadikan ijtihad dan fatwa ulama sebagai acuan hidup.

Para ulama membahas berbagai permasalahan dalam berbagai forum. Ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terdiri dari berbagai komisi. Selain itu, ada juga organisasi masyarakat yang lahir sebelum negeri ini merdeka, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Mereka menyadari permasalahan masyarakat semakin kompleks karena arus informasi terbuka luas. Globalisasi menjadi keniscayaan, sehingga interkoneksi berbagai pihak terjalin dengan intensif. Berbagai gagasan menyebar dengan cepat dan diakses dengan mudah, sehingga menjadi rujukan masyarakat dalam bersikap (Johan Meuleman: 2001).

Melawan korupsi dan kesenjangan
Pada 2012, ulama NU mendiskusikan kasus korupsi yang semakin marak. Sejumlah pejabat negara terlibat di dalamnya. Mereka yang seharusnya dipercaya menjalankan amanah dengan baik, justru mengkhianatinya.

Kejahatan itu dinilai sangat merusak, tidak bisa diatasi, serta tidak ada jalan keluar lagi. Jika kondisi itu semua terpenuhi, maka sangat mungkin negara menjatuhkan hukuman mati sebagai peringatan bagi masyarakat. Ini merupakan hasil sidang komisi bahtsul masail di Pesantren Kempek Cirebon.

Di saat kasus korupsi marak terjadi, kesenjangan ekonomi semakin dirasakan masyarakat. Mereka yang bermodal semakin kaya. Sedangkan masyarakat miskin semakin terhimpit. Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin mengatakan, di antara tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah persoalan ekonomi yang berkeadilan.

Keturunan Syekh Nawawi al-Bantani ini menilai, kesenjangan ekonomi di negeri ini sudah sangat menyesakkan masyarakat. Banyak aset ekonomi hanya dikuasai sekelompok masyarakat elite. Misalnya, lahan banyak yang dikuasai korporasi besar. Sedangkan masyarakat kecil kesulitan untuk mengakses lahan demi kelangsungan hidup.

“Banyak orang memperebutkan ‘remah-remah’ sisanya,” ujar dia dalam pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2017 di Pusat Keislaman Nusa Tenggara Barat, Kamis (23/1).

Kondisi ini jangan sampai dibiarkan. Harus ada upaya serius dan rencana strategis untuk menyelesaikan kesenjangan ekonomi. Jika tidak, permasalahan ini akan membesar dan menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan kelangsungan bangsa. Konflik horizontal sangat mungkin terjadi bila berbagai pihak tidak menyikapi persoalan tersebut. Oleh karena itu, perlu ada upaya sungguh-sungguh yang terencana untuk mengikis kesenjangan tersebut.

Kiai Ma’ruf mendukung kebijakan pemberlakuan kebijakan redistribusi aset dan kemitraan antara usaha kecil-menengah dengan pengusaha besar merupakan terobosan yang perlu diformalkan. Hal ini akan memberikan kesempatan masyarakat miskin untuk memanfaatkan dan mengelola aset untuk meningkatkan perekonomian.

Munas dan Konbes NU di Mataram ini mendiskusikan dan menyikapi persoalan tersebut. Jalan keluar untuk penyelesaian masalah itu harus ada agar bangsa ini dapat segera melangkah lebih maju, bermartabat, sehingga lebih dihormati masyarakat dunia. 

Regulasi yang menyebabkan terbukanya peluang kepemilikan aset secara berlebihan akan dikaji secara kritis dan akan dibuat rekomendasi adanya regulasi baru yang memperkuat kebijakan redistribusi aset.

Munas juga akan merumuskan dari perspektif ajaran agama, bagaimana distribusi aset dilakukan. Para ulama akan mengkaji sejauh mana negara berkewajiban mengatur terkait dengan penguasaan aset dan tanah yang berkeadilan.

Forum tersebut dimaksimalkan untuk menghasilkan ijtihad yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan umat. “Jangan sampai penguasaan aset dan tanah yang berlebihan oleh sekelompok orang semakin meluas, padahal di sisi lain banyak masyarakat yang tidak memilikinya,” ujar Kiai Ma’ruf.

Konbes NU membahas hal-hal yang menyangkut keorganisasian. Materi pertama fokus membicarakan program-program NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang berlandaskan Ahlussunah waljamaah. Materi kedua lebih berfokus pada pembahasan peraturan organisasi yang resmi disebut Peraturan NU. Sedangkan materi ketiga adalah rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah sebagai panduan pengambilan kebijakan.[rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita