www.gelora.co - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan memiliki 200 alat bukti untuk membuktikan keterlibatan Ketua DPR Setya Novanto atas kasus korupsi e-KTP. Kabar akan kembali ditetapkan tersangka bergulir setelah beredarnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas nama Setnov.
Kuasa hukum Setnov, Fredrich Yunadi mengatakan pernyataan KPK tersebut hanya angan-angan. Menurutnya, pembuktian keterlibatan Setnov tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana soal alat bukti.
Dalam ketentuan pasal 184, keterangan saksi menjadi salah satu alat bukti. Tetapi, kata Fredrich, saksi yang dihadirkan KPK memberikan keterangan tanpa melihat secara langsung keterlibatan Setnov atas korupsi e-KTP.
"Itu kan dia mimpi di siang bolong. Saksi dalam 184 KUHAP, saksi itu kan satu alat bukti, mau 2 ribu, 2 juta saksi nilainya tetap satu, apalagi saksinya itu, saksi katanya," kata Fredrich di kantornya, Gandaria, Jakarta, Selasa (7/11).
"Semua ini kan saksi di perkara Isman, enggak masuk di akal kan? Kalau merasa benar ya panggil lagi, tanya lagi kamu kenal Pak SN enggak? Bikin BAP lagi, bukan saksi katanya. Saksi adalah orang yang melihat dan mendengar langsung," sambungnya.
Contoh lainnya, yakni pemutaran rekaman percakapan antara Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo dan Direktur Biomorf Lone LCC, Amerika Serikat, Johannes Marliem dalam persidangan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Andi Agustinus.
Dalam rekaman percakapan itu, muncul inisial SN. SN diduga inisial dari Setya Novanto. Berdasarkan keterangan Anang, Setnov diduga menerima sejumlah uang dari hasil proyek e-KTP.
Menurut Fredrich, rekaman percakapan yang diduga menyeret nama Setnov tidak sah diputar di persidangan karena direkam oleh Marliem. Ketentuan ini telah diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang diajukan Setnov.
Uji materi itu diajukan karena percakapan Setnov dengan pengusaha minyak Riza Chalid direkam oleh Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dijadikan bukti di persidangan atas kasus Papa Minta Saham. Putusan MK itu memutuskan, perekaman yang dilakukan Maroef ilegal.
"Terus dalam keadaan kapasitas sebagai apa? Mungkin mau simpan bukti kan? Inget papa minta saham yang Pak SN terlibat juga? dinyatakan tidak sah oleh MK kan? Lah ini sama. kalau tahu tidak sah, ngapain diputar di sana," ujar Fredrich.[ma]