Inilah Pertimbangan Majelis Hakim Penjarakan Miryam 5 Tahun

Inilah Pertimbangan Majelis Hakim Penjarakan Miryam 5 Tahun

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi memutuskan mengetukkan palu bersalah kepada terdakwa anggota DPR RI Miryam S Hayani.
Miryam adalah terdakwa memberikan keterangan tidak benar pada persidangan korupsi e-KTP tahun anggaran 2011-2012 yang menjerat dua terdakwa yakni bekas direktur jenderal kependudukan dan catatan sipil Irman dan pejabat pembuat komitmen e-KTP Sugiharto.
Berikut adalah pertimbangan majelis hakim yang menghukum Miryam 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair tiga bulan kurungan.
1. Tidak ada tekanan dan ancaman dari penyidik.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat tidak ada ancaman dan tekanan dari tiga penyidik KPK yang memeriksa Miryam. Ketiga penyidik tersebut adalah M Irwan Susanto, Ambarita Damanik dan Novel Baswedan.
Hakim Anggota Anwar mengatakan ketiga penyidik tersebut telah dihadirkan dan menegaskan bahwa Miryam selalu diberikan kesempatan jika ingin pergi ke toilet, makan siang atau ishoma.
"Pada saat akhir pemeriksaan terdakwa Miryam S Haryani selalu diberikan kesempatan untuk memeriksa dan mengoreksi keteranganya kemudian baru diparaf dan ditandatangani," kata Hakim Anwar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (13/11/2017).
2 Hasil Analisa Tim Psikologi Forensik
Majelis hakim mengutip pendapat dari Ahli Psikologi forensik Reni Kusumawardani saat dihadirkan di persidangan. Berdasarkan hasil analisi tim, Reni mengatakan Miryam S Haryani tidak mengalami tekanan saat dimintai keterangannya.
Menurut Reni, Miryam tidak dalam keadaan tertekan atau diancam karena dia menjawab panjang lebar pertanyaan dari penyidik KPK. Padahal pertanyaan dari penyidik bersifat kalimat pendek.
"Maka apabila dikaitkan dengan kenyataan dengan tidak adanya tekanan berdasarakan hasil observasi tersebut dengan peningkaran si terperiksa dengan keterangan yang pernah diberikan dalam proses pemeriksaan, maka hal ini tunjukkan ada indikasi kebohongan yang telah dilakukan," ungkap Hakim Anwar.
3 Paksaan Harus Dari Seseorang
Ahli pidana Universitas Jenderal Soedirman Noor Aziz Said berpendapat bahwa daya paksa harus dari seseorang dan bukan berasal dari yang dirasakan sendiri.
Miryam dalam keterangannya mengatakan diperiksa di ruangan yang terisolir. Namun di sisi lain, politikus Partai Hanura itu mengaku sering ditinggal penyidik sehingga dapat keluar masuk dari ruangan.
"Sehingga pencabutan BAP oleh terdakwa Miryam S Haryani ketika sebagai saksi ketika perkara Irman dan Sugiharto tidak memiliki alasan hukum," kata Anwar.
Pada perkara itu, Miryam divonis lima tahun dan denda Rp 200 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK yang menuntut pidana penjara delapan tahun dan denda Rp 300 juta subsidair enam bulan kurungan.
Atas perbuatannya Miryam dinilai terbukti melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.[tn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita