www.gelora.co - Menurut ajaran Ahmadiyah, Tadzkirah adalah kitab yang berisi kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui mimpi-mimpi. Tapi dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 7 November 2017, saksi ahli untuk pemohon (Ahmadiyah) menyatakan Tadzkirah bukan kitab suci Ahmadiyah.
Berbeda dengan pengakuan pihak Ahmadiyah, Ustaz Syamsul Bahri dari Pusat Kajian Dewan Da’wah menjelaskan tuntas isi kitab Tadzkirah tersebut. Penjelasan ini disampaikan dalam sidang uji materi UU PNPS No. 1 Tahun 1965 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11) kemarin. Sidang ini adalah yang kelima berlangsung.
“Tadi dikatakan dia (Ahmad Najib-red) peneliti, kami pun peneliti,” ujar Syamsul Bahri mengawali, sambil mengungkap fakta bahwa Tadzkirah adalah kitab suci. Ia pun membacakan redaksional Tadzkirah halaman 637: ‘Sesungghuhnya kami telah menurunkan kitab suci Tadzkirah ini dekat dengan Qadhian (India). Dan dengan kebenaran kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun.”
Syamsul Bahri menunjukkan secara tegas kedudukan Tadzkirah sebagai kitab suci, sekaligus mematahkan argumen saksi ahli, Ahmad Najib Burhani, yang mengatakan bahwa Tadzkirah bukan Kitab Suci, melainkan kitab pedoman seperti kitab-kitab yang dipedomani oleh tarekat-tarekat dalam Islam. Pertanyaan lanjutan Syamsul Bahri, “kalau itu kitab suci, perlu ditafsir atau tidak?” Atas pertanyaan ini, saksi ahli tidak memberi jawaban.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada 1997 lalu menerbitkan buku berjudul “Khilafah Telah Berdiri”. Syamsul Bahri menemukan pada halaman 15 buku tersebut, materinya menyebutkan: Wajib bagi mereka bernaung dibawah bendera Hazrat al-Masih. Dalilnya adalah Tadzkirah halaman 342. Seperti ini redaksionalnya: “Bahwa Allah telah memberi kabar kepadanya, sesungguhnya orang yang tidak mengikutimu dan tidak berbaiat padamu dan tetap menentang kepadamu, dia itu adalah orang yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya dan termasuk penghuni Neraka jahim”.
Kemudian di halaman 600 kitab Tadzkirah, dikatakan, “...setiap orang yang telah sampai padanya dakwahku kemudian dia tidak menerimaku, maka dia bukanlah seorang Muslim dan berhak mendapatkan siksa Allah.” Menurut Syamsul Bahri, itu artinya Ahmadiyah melalui Tadzkirah 600 telah berbuat rasis dan menebar SARA.
Satu lagi, Mirza Ghulam Ahmad dalam kumpulan mimpi-mimpinya yang menjadi kitab Tadzkirah, mengaku sederajat dgn ke-Esa-an Allah. Sebagaimana dibacakan Syamsul Bahri: “Wahai Ahmad-Ku, Engkau adalah tujuan-Ku, kedudukan-Mu di sisi-Ku sederajat dengan ke-Maha-Esaan-Ku, Engkau terhormat pada pandangan-Ku.”
“Habis kita ini!” ujar Syamsul ke hadapan sidang.
Komunitas Ahmadiyah, sebagai pihak pemohon, pada sidang kali ini menghadirkan dua saksi yang menurut pengakuannya mengalami langsung tindak diskriminasi dan intoleransi. Ahmadiyah juga menghadirkan satu saksi ahli, Ahmad Najib Burhani, Ph.D, yang mengaku peneliti dan ahli bidang Ushuluddin serta menghadirkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai pihak terkait untuk kepentingannya.
Mewakili YLBHI, Asfinawati ‘menggugat’ UU Penodaan Agama Nomor 1 Tahun 1965 atau lebih dikenal dengan nama UU PNPS serta diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya yang bertentangan dengan Islam (SKB diterbitkan 9 Juni 2008).
Asfinawati berpendapat SKB Tiga Menteri ini justru menjadi alat legitimasi lanjutan untuk tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi yang dialami oleh Komunitas JAI. Menurut dia, negara sudah terlibat dengan aktif melanggar hak-hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Karena itu ia memohon kepada Majelis Hakim agar dikeluarkan tafsir konstitusional bersyarat atas UU PNPS No. 1 tahun 1965, untuk memberi kebebasan kepada Jemaat Ahmadiyah menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan mereka.
Ahmad Nazib Burhani dalam prolognya mengatakan, ada tiga hal kesalahpahaman tentang Ahmadiyah. Pertama, adanya beberapa kesalahpahaman tentang Ahmadiyah terkait kitab suci Tadzkirah, kedudukan Mirza Ghulam Ahmad tempat suci Ahmadiyah di Qodyan, India. Kesalahpahaman kedua adalah pendefinisian penodaan agama dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok agama, termasuk terhadap NU dan Muhammadiyah (jika tidak ada penafsiran konstitusional bersyarat pada UU A Quo). Dan ketiga, kesalahpahaman mayoritas memahami posisi minoritas agama.
Tak seperti sidang-sidang sebelumnya yang selalu pasif, pihak Pemerintah pada sidang kali ini menanyakan sekaligus membuktikan eksklusivitas Ahmadiyah yang ‘ngotot’ mendirikan masjid sendiri dan beribadah di masjid sendiri kendati masjid belum siap pakai atau atau telah dihancurkan massa.
“Apakah ada larangan (dalam internal Ahmadiyah, red) untuk melaksanakan ibadah di masjid-masjid perkampungan?” ujar perwakilan dari pihak Pemerintah. Saksi Ahmadiyah, Hajar Ummu Fatikh, awalnya seperti kesulitan menjawaba, namun akhirnya mengatakan, “Kami lebih nyaman beribadah di masjid kami sendiri”.
Sidang kali ini memang tampak lebih responsif. Pertanyaan juga diajukan para Hakim Anggota, masing-masing dari Hakim Wahiduddin Adam, Hakim Anwar Usman dan Hakim Aswanto.
Pertanyaan juga diajukan oleh Ahmad Leksono, SH, sebagai Ketua Kuasa Hukum untuk Dewan Da’wah. Ahmad Leksono meragukan kesaksian Ummu Fatikh yang saat ini baru berusia 20 tahun dan masih kuliah tetapi menceritakan kejadian-kejadian yang dialaminya di usia 6 tahun secara detil layaknya dirasakan orang dewasa.
Tim Dewan Da’wah yang mengikuti sidang ini adalah Wakil Ketua Umum H. Amlir Syaifa Yasin, MA, Sekretaris Umum H. Avid Solihin, MM. Selain itu juga hadir Teten Romly Qomaruddien, MA dan Syamsul Bahri, MA, yang keduanya dari Pusat Kajian Dewan Da'wah.
[sic]