Alexis dan Calon Presiden

Alexis dan Calon Presiden

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Upaya manajemen hotel dan pusat hiburan Alexis untuk memperpanjang izin usaha tak menemui hasil. Pemprov Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menolak memperpanjang daftar ulang tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) Alexis. Dalih utama dari penolakan itu adalah adanya bentuk pelacuran terselubung yang ada di hotel tersebut.

Suasana pro dan kontra mengiringi penutupan Alexis di era Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Ini sangat kontras dibandingkan saat Ahok pada pertengahan 2014 menutup diskotek Stadium yang diduga kuat menjadi sarang peredaran narkoba. Kala itu pujian seolah datang dari seluruh penjuru Jakarta. Tindakan Ahok dianggap sudah tepat dan itu sekaligus memperlihatkan keberaniannya.

Penutupan diskotek Stadium dinilai merupakan bukti konsistensi Ahok untuk bersikap tidak pandang bulu terhadap segala bentuk penyimpangan. Koor dukungan pada Ahok serentak membahana di kala itu. Saat itu pula, sebagian masyarakat ibu kota sempat berharap agar Ahok juga menutup Alexis yang diduga kuat juga sarat dengan transaksi narkoba dan praktik pelacuran. Namun, harapan masyarakat itu tak terpenuhi. Kuatnya beking yang ada di belakang Alexis menjadi salah satu alasan, mengapa hotel yang berada di kawasan Jakarta Utara itu tetap beroperasi.

Tatkala Anies memutuskan untuk tak memperpanjang izin Alexis, rupanya tak serta-merta semua pujian menghampirinya. Sebagian pihak memuji langkah dan keberanian Anies yang begitu luar biasa. Sebagian lain justru mengecamnya.

Tudingan adanya praktik pelacuran juga tak dapat menjadi alasan yang bisa diterima pihak yang menolak tersebut. Anies diminta membuktikan adanya praktik pelacuran terselubung itu.

Dalih ini terasa aneh. Jauh sebelum itu, Ahok dengan lantang mengatakan adanya praktik pelacuran di lantai tujuh Hotel Alexis. Pada media massa, awal 2016, Ahok mengaku sempat memarahi anak buahnya yang tak menemukan adanya pelacuran di Alexis. Ahok lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengecek lagi.

Akhirnya anak buahnya mengaku, di lantai tujuh Alexis ada prostitusi yang melibatkan pelacur dari pelbagai negara. Bahkan kemudian Ahok menyebutkan, lantai tujuh di Alexis itu sebagai surga dunia. “Di Alexis, surga bukan di telapak kaki ibu akan tetapi di lantai tujuh,” papar Ahok saat itu.

Anehnya, saat itu tak ada yang membantah keterangan Ahok. Namun kini ketika Alexis ditutup, beberapa pihak meminta agar Anies membuktikan adanya pelacuran itu. Politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang meminta hal ini. Saat Anies mengaku punya bukti adanya praktik pelacuran itu dan memiliki data para pengunjungnya, pihak yang memprotes justru meminta agar data tamu itu tak diungkap kepada publik.

Inilah salah satu keanehan tersebut. Pada satu sisi, mereka minta bukti dan keterbukaan. Ketika ada jawaban Pemprov DKI bahwa bukti itu ada, mereka buru-buru berteriak agar bukti itu tak diungkap pada khalayak. Bisa jadi, mereka khawatir nama koleganya --atau malah dia sendiri-- ada dalam daftar itu.

Sebagian yang tak sepakat dengan penghentian operasi Alexis juga memita agar Pemprov DKI ikut memikirkan keberadaan karyawan Alexis yang jumlahnya ratusan dan bakal menganggur Pada satu sisi, saran ini masuk akal dan selayaknya mendapat tanggapan positif. Di sisi lain, usulan ini terasa tidak adil. Mengapa pada kasus Alexis mereka memikirkan keberadaan tenaga kerja yang kemungkinan bakal mennganggur, sedangkan terhadap reklamasi yang menghilangkan mata pencaharian nelayan justru tak dipikirkan sama sekali? Karyawan Alexis hanya ratusan dan paling banyak 1.000 orang. Adapun nelayan Teluk Jakarta yang kehilangan mata pencaharian mencapai puluhan ribu. Total jumlah nelayan yang terganggu mata pencahariannya (bersama anggota keluarganya) ada sekitar 104 ribu.

Cara berpikir dan bersikap adil harusnya mereka tunjukkan sejak dalam niat. Jangan hanya karena kebijakan itu dibuat oleh koleganya atau junjungannya, maka akan didukung habis-habisan, apa pun bentuknya. Sedangkan kebijakan yang dibuat pihak lain, sekalipun bernilai sama, harus dipersoalkan atau digugat.

Salah satu langkah yang akan ditawarkan Pemprov DKI adalah membuat persewaan mobil dinas anggota DPR yang jumlahnya ratusan unit agar bisa menampung sebagian eks karyawan Alexis. Memang rencana itu, kalaupun terwujud, belum tentu mampu menampung seluruh karyawan Alexis yang bakal menganggur. Meski begitu, hal tersebut merupakan bukti nyata dan kepedulian Pemprov DKI atas konsekuensi kebijakan yang diambilnya.

Kalaupun ada masukan kepada Anies soal tak diperpanjangnya izin Alexis, mestinya kebijakan itu bukan harga mati. Surat penolakan untuk memperpanjang izin itu seyogianya diberi keterangan tambahan, bahwa larangan beroperasinya Alexis berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan. Jika manajemen Alexis mampu menghentikan praktik pelacuran kelas dunia tersebut dan juga menutup diri atas segala bentuk peredaran narkoba di dalam lingkungan hotel, mungkin izin operasinya bisa diaktifkan lagi.

Sebagai sebuah hotel dan dilengkapi dengan sarana hiburan, Alexis memang berhak hidup. Sepanjang pengoperasiannya tidak menerabas pagar aturan, maka tak ada alasan untuk menghentikannya. Apa yang dialami oleh manajemen Alexis saat ini, tidak keluarnya izin perpanjangan TDUP, pastilah berhubungan dengan pelanggaran yang mereka lakukan bukan sekadar kebijakan untuk memenuhi janji kampanye Anies-Sandi belaka.

Selain penutupan Alexis, hal lain yang kini menjadi pembicaraan hangat masyarakat adalah kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta. Dalam pelbagai kesempatan, Wagub Jakarta, Sandiaga Uno, mengutarakan keputusan untuk menghentikan reklamasi. Pertimbangan utamanya tentu karena dampak kerusakan ekosistem laut akibat reklamasi, hilangnya mata pencaharian puluhan ribu nelayan, dan peruntukannya yang hanya buat kalangan tertentu. Demi untuk kepentingan sekelompok orang (termasuk rencana pembangunan bandara di salah satu pula), reklamasi harus mengorbankan puluhan ribu nelayan.

Rencana kelanjutan reklamasi tentu harus dihentikan. Sedangkan pulau-pulau yang sudah telanjur direklamasi dan dibangun mungkin ada baiknya dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang lebih luas, tak sekadar untuk memenuhi kehendak pengembang saja. Membiarkan begitu saja pulau yang sudah dibangun dan direklamasi, tentu juga bukan keputusan yang bijak. Pulau-pulau yang sudah dibangun ini pun harus dimiliki oleh pemerintah dan tak boleh sepenuhnya menjadi milik swasta.

Keputusan Anies-Sandi untuk tidak meneruskan reklamasi bukan sekadar tindakan yang berani. Selain keputusan yang tepat, hal itu juga menunjukkan keberpihakan keduanya pada kepentingan yang jauh lebih besar, yakni keseimbangan ekosistem dan kemaslahatan bersama. Para pengusaha kelas kakap, termasuk Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan dan Presiden Joko Widodo, yang berada di belakang kebijakan reklamasi tak boleh menjadi penghalang, bila keputusan yang diambil merupakan jalan kebenaran.

Beberapa pihak berpendapat, jika Anies mampu menghentikan rencana reklamasi, maka posisinya akan semakin kuat dan bukan tidak mungkin mendapat simpati luas masyarakat. Ini memperlihatkan independensi Anies yang tinggi keteguhan dalam bertindak. Dengan begitu, sebagian kalangan berpendapat dan bahkan cenderung mendorong, bahwa Anies dianggap layak untuk sekaligus maju sebagai salah satu alternatif capres dalam pemilu 2019.

Saya sungguh tidak sependapat dengan pandangan ini. Jika kemudian Anies benar-benar mau maju sebagai capres 2019, itu adalah bentuk pengkhianatan kepada warga Jakarta yang telah memilihnya. Baru dua tahun menjabat, sudah hendak meninggalkan posisinya untuk semata mengejar kedudukan yang lebih tinggi, itu bukanlah bentuk pengabdian. Justru itu contoh nyata dari sosok yang berorientasi pada kekuasaan semata.

Cukuplah sudah kebohongan itu sekali terjadi pada warga Jakarta. Hendaklah tidak lagi menambah luka bagi penduduk Jakarta yang sekadar dijadikan pijakan untuk mengais popularitas dan meloncat lebih tinggi lagi demi ambisi pribadi. Pengabdian dan komitmen yang tulus untuk membangun dan menyejahterakan warga Jakarta sudah barang tentu akan otomatis membawa dampak popularitas bagi pejabat yang bersangkutan.

Oleh: Arif Supriyono [rci]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita