Utang Jatuh Tempo Tahun 2018 Habiskan 40% dari APBN, Ini Tanggapan DPR

Utang Jatuh Tempo Tahun 2018 Habiskan 40% dari APBN, Ini Tanggapan DPR

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Politikus Partai Gerindra, Nizar Zahro mengungkapkan banyaknya utang yang melilit Indonesia saat ini. Berdasar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018, ia mengakui jika pembiayaan infrastruktur yang dijalankan pemerintah saat ini bersumber dari utang.

"Uang infrastruktur itu, khusus di PU (Kementerian PUPR) itu ada Rp141 triliun dan itu bukan uang rupiah murni. Yang disebut uang rupiah murni itu adalah hasil dari pajak," ucap Nizar di kantor Indikator Politik Indonesia, Jakarta, Rabu (11/10).

Berdasarkan APBN, Nizar menyatakan bahwa sumber pembiayaan berbagai macam proyek infrastruktur yang digalakkan pemerintah saat ini bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN), Sukuk dan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN).

"Jadi sumber infrastruktur itu bukan uang hasil pajak, tapi dari utang luar negeri," tegasnya.

Selain itu, anggota Komisi VI DPR ini juga menyoroti besarnya utang jatuh tempo yang harus dibayar Indonesia pada tahun depan. Tidak tanggung-tanggung, besarnya nominal utang yang harus dibayar pemerintah pada tahun depan mencapai 40% dari APBN.

"Prediksi kita, ada kewajiban bayar bunga dan (utang) pokok senilai Rp541 triliun yang wajib dibayarkan. Rp541 triliun itu setara dengan 40 persen APBN," ungkapnya.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Umum Demokrat Roy Suryo dengan nada satir, menyatakan jika akan lebih baik jika pemerintah dapat membangun berbagai Kereta Cepat di berbagai hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

"Tapi nanti tinggal Banggar DPR yang teriak-teriak sumber dananya dari mana," kelakarnya.

Sebagaimana diketahui, rasio utang Indonesia sendiri mencapai 28% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim, mau dilihat dari sektor mana pun utang Indonesia masih aman dan dikelola secara prudent (hati-hati).

"Dari rasionya utang kita cuma 28 persen. Di G20 jadi terendah kedua setelah Rusia yang 17 persen," katanya pada 27 September 2017 lalu. [akt]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita