www.gelora.co - Pada 20 Oktober mendatang, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) genap berusia tiga tahun (20 Oktober 2014). Namun, sejumlah kalangan menilai, selama tiga tahun memimpin Indonesia, Jokowi-JK masih jauh dari harapan rakyat. Saat ini daya beli masyarakat melemah dan angka kemiskinan masih cukup tinggi.
Ekonom Maybank Indonesia, Juniman, mengatakan, sejumlah hal yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah antara lain, pertama, daya beli masyarakat yang menurun selama tiga tahun terakhir. Hal tersebut lanjut Juniman, tampak pada data pertumbuhan konsumsi rumah tangga milik Badan Pusat Statistik (BPS) selama tiga tahun terakhir. Di tahun 2014, konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh 5,14%, namun turun ke 4,96% di tahun 2015.
Menunutnya, persoalan daya beli tersebut juga berdampak pada pertumbuhan kredit yang melambat. "Daya beli masyarakat bukan jatuh, tetapi tidak improve. Dengan daya beli yang stagnan ini, sulit dongkrak ekonomi," kata Juniman di Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Juniman mengemukakan, masalah pemerataan kesejahteraan yang tercermin dari tingkat kesenjangan (gini ratio) yang belum banyak berubah.
"Sebenarnya yang dilakukan pemerintah sudah benar, membangun Indonesia dari Sabang sampai Merauke, cuma hasilnya butuh waktu. Tetapi paling tidak ini menjadi catatan bahwa pemerataan kesejahteraan masih jadi PR besar," katanya.
Namun demikian, ia juga melihat sisi positif dari pemerintahan Jokowi-JK, yaitu peningkatan pembangunan infrastruktur, birokrasi yang lebih mudah dalam pengurusan izin investasi walau hasilnya belum memuaskan, penguasaan maritim, stabilitas kurs, hingga indeks saham yang mencatat rekor.
Daya Beli Lesu
Presiden Jokowi belum lama ini sempat mengungkapkan soal daya beli di hadapan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Orang nomor satu itu menyebutkan, daya beli masyarakat Indonesia masih tumbuh. Bahkan dia menyebut daya beli lesu hanyalah isu untuk kepentingan politik.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita memastikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia memang lesu.
"Begini yah, pemerintah kan berdasarkan data, data itu misalnya PPN naik itu dianggap berarti penjualan naik, dan pemerintah memiliki data 6 bulan dibandingin tahun lalu ada kenaikan," kata Suryadi di Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Baik pemerintah dan pengusaha memiliki sudut pandang berbeda. Pemerintah menggunakan komponen PPN. Sedangkan sudut pandang pengusaha, kata Suryadi berbeda, PPN yang dianggap pemerintah naik adalah PPN impor dan kebanyakan karena banyak wajib pajak yang mengikuti programtax amnesty.
"Kalau pengusaha berbeda, kita lihat penjualan tahun lalu Lebaran di Juli, tahun inikan Juni, lebaran itu kan peak season yang paling besar, kalau mau data yang benar harusnya itu Januari-Juli, bukan Januari-Juni," tambah dia.
"PPN yang besar itu dari manufaktur ke peritel, itukan naik, yang penting itukan dari peritel ke konsumen dan itu yang kurang, jadi PPN naik terhadap pabrik ke peritel. Peritel ke masyarakat itu berkurang," tegas dia.
Tidak hanya itu, fenomena banyaknya pusat perbelanjaan yang tutup, serta sulitnya pengusaha melakukan ekspansi dan justru melakukan pemangkasan jumlah karyawan, menjadi salah satu tanda rendahnya daya beli masyarakat.
Dia menjelaskan, jika terjadi PHK dan pemangkasan waktu kerja tambahan atau lembur, maka pendapatan masyarakat terjadi pengurangan.
"Yang jelas sekarang banyak toko pada tutup, ini kenyataannya, di Glodok, Mangga Dua, yang besar pun seperti Plaza Senayan banyak yang kosong sekarang, jadi kalau dibilang daya beli ada kenapa mereka tutup, kenapa enggak buka lagi, nah alasannya e-commerce," ungkap dia.
Jika memang karena ada pengubahan pola belanja dari luring (tradisional) menjadi daring (online), itu pun hanya sebagai faktor kecil, hanya sekitar 1,2% dari total potensi retail terhadap PDB yang beralih ke online.
"Enggak banyak, jadi e-commerce jadi salah satu faktor tapi itu kecil, yang paling besar itu memang daya beli yang menurun terus yah, pengusaha dan banyak pembeli menengah itu banyak yang wait and see, jadi menurut saya perbedaan data dengan realita, kalau sepi tuh ya sepi," tukas dia.
Angka Kemiskinan
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan secara objektif hasil tersebut masih lebih tinggi daripada kenyataan. Ia bilang sejak tahun 2014 perekonomian Indonesia belum membaik secara signifikan.
Angka kemiskinan yang sempat mengalami kenaikan sebanyak 6.900 pada rentang waktu September 2016-Maret 2017 dinilai menjadi bukti. Tak hanya itu kebijakan ketidakpastian dan validasi data subsidi dan penyaluran bantuan sosial yang masih belum tepat sasaran, bisa menjadi keluhan masyarakat menengah ke bawah.
Keluhan harga sembilan bahan pokok (sembako) yang disebutkan oleh berbagai lembaga survei, diakui Bhima memang hal yang semestinya diperhatikan pemerintah. Nilai tukar petani yang fluktuatif, upah buruh tani yang menurun dan permasalahan lapangan kerja juga perlu diperhatikan.
Lebih jauh lagi, dirinya menyoroti kebijakan pemerintah kerap kali membuat distorsi publik. Ia mencontoh, kebijakan untuk mengintip rekening nasabah, maupun pajak untuk selebgram.
"Banyak kebijakan yang belum matang sudah diterbitkan. Komunikasi pemerintah untuk sebuah kebijakan masih belum baik, sehingga sempat menurunkan kepercayaan publik," kata Bhima di Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Namun kepuasan publik mulai terlihat atas keberhasilan negosiasi divestasi Freeport Indonesia. Publik merasa puas dengan pencapaian tersebut. Untuk sisa waktu kurang dari dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, Bhima menyatakan, perlu terus dilakukan perbaikan, terutama dalam mengambil langkah kebijakan.
"Jadi untuk tahun depan, untuk perbaikan pemerintah jangan membuat kebijakan yang aneh dan bisa mendistorsi yang membuat pelaku usaha ragu," jelasnya.
Demokrasi
Sementara itu Presidium Pergerakan Indonesia, Andrianto mengatakan, tiga tahun pemerintahan Jokowi dalam kehidupan berdemokrasi di negeri ini mengalami kemunduran ketika Perpu Ormas diberangus ormas. Padahal UU Ormas 2013 sudah cukup adil dan melindungi kebebasan yang d ijamin kontitusi tertinggi pasal 28 UUD 1945.
“Dalam hal penegakan hukum sungguh terasa adanya tebang pilih dan makin mudahnya kita terjerat hukum, bahkan untuk urusan yang sepele. Sudah tidak terhitung banyaknya suara kritis yag dibungkam, anara lain Rijal Kobar, Ustad Alfian Tanjung, Ki Gendeng Pamungkas dan lainnya. Sementra publik melihat ada sosok politisi Nasdem Viktor Laiskodat yang masih bergentayangan,” ujarnya.
Dalam hal ekonomi, Andrianto mengemukakanm masi mengalami stagflasi yakni maju tidak mundur malah iya. “Hal ini karena tim ekonomi Jokowi-JK ada yang bermahzab Neo liberal yang dulu terbukti gagal bahkan ada kaitan dengan skandal Century,” ujar mantan Sekjen Prodem ini.
Indikator Kegagalan
Survei Indo Barometer sempat menunjukkan indikator kegagalan tertinggi dalam pemerintahan Jokowi-JK dalam 2,5 tahun terakhir adalah anggapan dikendalikan oleh pihak lain dan dinilai sebagai pemimpin boneka. Survei itu menunjukkan terdapat 20 indikator kegagalan selama Jokowi-JK memimpin dalam 2, 5 tahun terakhir.
Sepuluh indikator kegagalan lainnya adalah harga kebutuhan pokok belum stabil (11,7 persen); pelayanan kesehatan buruk (7,9 persen); perekonomian rakyat (6,4 persen); terlalu pro China (6,2 persen); stabilitas politik (5,4 persen); keterbatasan lapangan pekerjaan (5,4 persen); penegakan hukum tak netral (5,3 persen); kasus SARA (5,1 persen), kualitas pendidikan (4,3 persen); dan pemberian KIP belum merata (4,3 persen). [htc]