Ilustrasi |
www.gelora.co - PT Freeport Indonesia kembali berulah. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut dituding tidak kunjung mau mematuhi aturan perundang-undangan pemerintah Indonesia. Bahkan, beredar surat penolakan Freeport atas skema divestasi 51 persen sahamnya.
Terkait sikap ‘membandel’ Freeport itu, desakan publik agar pemerintah memutus kontrak PT. Freeport Indonesia terus menggelinding. Mereka berpendapat, kalau tidak mematuhi aturan pemerintahan Indonesia, demi NKRI, layak perusahaan tambang itu diusir dari Indonesia.
Pengamat politik dan hukum Mr.Kan mengatakan, jika pemerintah bijaksana, maka Freeport harus di rebut kembali kepada NKRI secara utuh 100%.
“Kita harus ambil kembali freeport 100% kepada NKRI , usir AS angkat kaki dari Freeport dan jangan lagi perpanjang kontrak untuk pihak mana pun lagi selain NKRI sendiri yang mengelola,” kata Mr Kan.
Menurutnya, Negara Republik Indonesia adalah Negara Berdaulat yang tidak boleh di dikte atau di setir oleh negara luar yang mana pun.
“Soal kontrak freeport ini, Apakah kita harus takut sama Amerika Serikat? Tentunya kita tidak boleh seakan takut sama negara AS, kita memiliki TNI, POLRI dan seluruh rakyat Indonesia yang siap membela negara Republik Indonesia kapan pun? dan dimana pun?”.
Sementara itu pengamat kebijakan energi dari Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, Freeport adalah korporasi asing yang paling tidak menghargai kedaulatan sebuah negera yang merdeka. Bahkan Freeport secara terang benderang tidak taat terhadap KK maupun UU Minerba Nomor 4 tahun 2009. Contohnya, jika menurut KK yang ditanda tanganin tahun 1997 itu seharusnya soal divestasi 51% sudah harus tuntas paling lambat pada akhir desember 2011.
Namun entah alasan apa pemerintah pada Juli 2014 memberikan kemudahan membolehkan ekspor konsentrat dengan kewajiban menyetorkan jaminan kesungguhan membangun smelter senilai USD 120 juta.
Yusri menuturkan, perlu dipahami bahwa sikap memaksa kehendak oleh korporasi asing yang sudah menguras sumber daya alam lebih 50 tahun tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu tak salah jika publik menilai apa yang dilakukan PT FI sebagai bentuk penjajahan gaya baru berbaju korporasi.
“Jadi, apa bedanya dengan VOC yang telah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Oleh karena itu harusnya pemerintah bisa menghentikan kontrak dengan PT FI yang sangat merugikan Indonesia tersebu,” ujar Yusri.
Sementara itu anggota Komisi VII DPR Ahmad HM Ali menilai, sikap Freeport yang menolak rencana divestasi 51 persen pemerintah Indonesia melalui pola penerbitan saham baru merupakan indikasi karakter ekspansif geografis. Oleh karenanya apa yang dilakukan Freeport sulit untuk tidak disebut sebagai watak dari pada kolonialisme baru.
"Saking baiknya, pemerintah bahkan berulang kali mengutak-atik petunjuk pelaksana tentang ketentuan mineral dan batubara hanya untuk mengakomodir tuntutan perusahaan tersebut," kata Ali kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Politikus Partai NasDem ini mengatakan, selain layanan pajak yang murah meriah, Freeport juga mendapatkan fasilitas keamanan demi kelancaran operasional. Selain itu pemerintah memberikan pengampunan waktu untuk kegiatan ekspor konsentrat pada Freeport, agar dapat membangun proses pengolahan dan pemurnian dalam negeri.
Lebih lanjut Ali menambahkan, penolakan Freeport merupakan masalah yang krusial dan berpotensi membawa preseden buruk bagi wibawa hukum nasional. Freeport tidak menghargai hukum nasional yang berlaku.
"Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa apa yang dilakukan oleh PT Freeport telah memberikan kesan tidak etis, bahwa mereka tidak punya itikad baik dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia," katanya.
Dirinya berharap supaya pemerintah segera memberikan ultimatum tegas, jika divestasi 51 persen melalui penerbitan saham baru ditolak, maka Freeport tidak mematuhi kerangka hukum nasional Indonesia.
Menurutnya, pemerintah bisa mempercepat proses ambil alih lewat penerbitan dekrit Presiden atas persetujuan DPR RI, dan menyatakan Freeport sebagai perusahaan yang tidak patuh. Hal itu dapat dikategorikan sebagai bisnis yang melanggar prinsip hubungan perdagangan yang berkeadilan. [htc]