Polda Metro Jaya selidiki pencabutan moratorium reklamasi Teluk Jakarta

Polda Metro Jaya selidiki pencabutan moratorium reklamasi Teluk Jakarta

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Pandjaitan, mencabut moratorium atau penghentian sementara proyek reklamasi di pantai utara Jakarta, Jumat (06/10) pekan lalu. Keputusan itu diambil saat Polda Metro Jaya tengah menyelidiki dugaan pelanggaran yang terjadi dalam proyek tersebut.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Adi Deriyan, mengonfirmasi penyelidikan itu kepada wartawan BBC Indonesia, Abraham Utama. Senin (09/10).

"Masih lidik," tulisnya melalui pesan singkat.

Pada 19 September lalu atau 17 hari sebelum pencabutan moratorium, Adi meminta Direktur Jasa Kelautan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Abduh Nurhidahat, menunjuk satu staf untuk memberikan keterangan terkait reklamasi kepada penyelidik.

Melalui surat bernomor B/13631/IX/2017/Datro yang turut dikirim kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Adi juga meminta sejumlah dokumen proyek reklamasi.

"Data yang kami berikan ke kepolisian sama seperti yang saya sampaikan ke rapat tim teknis. Data-data itu sudah disatukan ke dokumen akhir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)," papar Brahmantya saat dikonfirmasi.

Brahmantya menuturkan, penyelidik Polda Metro pada Senin (09/10) pagi kembali datang ke kantornya untuk mengambil beberapa data proyek reklamasi Teluk Jakarta lainnya. Sepanjang pro dan kontra proyek reklamasi itu, kata Brahmantya, ini adalah pertama kalinya kepolisian meminta data dan dokumen.

Pada surat itu tertera sejumlah pasal UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang diduga dilanggar pada proses perizinan reklamasi.

Adi Deriyan menyebut Pasal 35 soal pembangunan fisik yang merusak lingkungan atau merugikan masyarakat dan Pasal 59 perihal kewajiban mitigasi kegiatan yang berpotensi merusak pesisir dan pulau kecil.

Satu pasal lain adalah Pasal 34 tentang reklamasi yang wajib memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Deputi Bidang Infrastruktur Kemenko Kemaritiman sekaligus Ketua Tim Kajian Reklamasi Teluk Jakarta, Ridwan Djamaluddin, mengaku tidak mengetahui penyelidikan yang digelar kepolisian itu. "Saya tidak punya informasi itu," ujarnya.


Dalam surat pencabutan moratorium yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta, Luhut menyebut proyek reklamasi di pantai utara Jakarta "sudah tidak ada permasalahan lagi, baik dari segi teknis maupun dari segi hukum".

Ketiadaan permasalahan yang disebut Luhut itu didasarkan pada rapat koordinasi antara sejumlah kementerian dan Pemprov DKI.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menarik sanksi penghentian pembangunan Pulau C, D, dan G juga menjadi latar pencabutan moratorium.

Pulau C dan D digarap PT Kapuk Naga Indah, sementara PT Muara Wisesa Samudera merupakan pengembang Pulau D. PT Kapuk Naga Indah adalah anak perusahaan PT Agung Sedayu Group. Adapun PT Muara Wisesa Samudera berstatus anak perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk.

"Selanjutnya diharapkan gubernur melakukan pengawasan sesuai kewenangan agar pelaksanaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta dapat berlangsung sesuai ketentuan," tulis Luhut dalam surat itu.


Penghentian sementara proyek reklamasi 17 pulau di Jakarta diputuskan pada April 2016, pada era Menko Kemaritiman, Rizal Ramli. Saat itu proyek tersebut dinilai tak memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan melanggar sejumlah peraturan, terutama soal perizinan.

Proyek reklamasi itu juga bergulir ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, atas gugatan masyarakat. Pada Maret 2017 misalnya, pengadilan membatalkan izin reklamasi untuk Pulau F, I, dan K.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus suap dalam proyek reklamasi itu, yang menjerat Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk, Ariesman Widjaja, dan Ketua Komisi D DPRD DKI, Mohamad Sanusi.

Kasus tersebut berkaitan dengan rancangan Perda soal Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi DKI.

September 2016, Ariesman divonis tiga tahun penjara. Tiga bulan setelahnya, Sanusi dijatuhi vonis tujuh tahun penjara. Agustus lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperpanjang hukuman Sanusi menjadi 10 tahun. [bbc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita