www.gelora.co - Penolakan Sidang Paripurna Istimewa (SPI) DPRD DKI Jakarta menyambut Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Anies Baswedan-Sandiaga Uno oleh Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi terus menuai sorotan tajam.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I), Tom Pasaribu menilai, sikap penolakan tersebut merupakan bentuk pressure atau alat bergaining politik terhadap Anies-Sandi.
Hal itu, dalam pandangan Tom, erat kaitannya dengan sikap keras Anies-Sandi yang sejak awal berkomitmen menolak megaproyek reklamasi Teluk Jakarta.
"Kita tahu, partai penguasa PDIP adalah pengusung utama proyek itu. Jadi, tidak mungkin hanya tatib (tata tertib) yang menjadi alasan Om Pras (Prasetio) menolak paripurna, itu salah. Sebab lebih tinggi undang undang dari pada tatib," ujar Tom saat berbincang dengan wartawan, di Jakarta, Rabu (25/10/2017) malam.
Terlebih lagi, sambung Tom, sudah ada contoh yurisprudensi yang dilakukan Pras, yaitu pada pengesahan APBD Perubahan 2014.
"Saat itu, belum ada tatib dan alat kelengkapan dewan (AKD). Hanya pimpinan dewan, Gubernur, Sekda dan Bappeda yang menyetujuinya. Hanya delapan orang saja. Dan itu (Perda APBD) tidak melalui pembahasan dewan secara menyeluruh. Ucapan tegak lurus dengan aturan tidak berbanding lurus dengan yang terjadi pada pengesahan APBD Perubahan 2014," beber dia.
Ketika itu, ungkap Tom, ada indikasi korupsi yang sangat besar dan gila-gilaan. Di antaranya adalah pengadaan UPS dan pembelian lahan RS Sumber Waras, yang belakangan terbukti bermasalah.
"Bagaimana pertanggungjawaban Om Pras dengan semua itu? Karena ini jelas sangat merugikan masyarakat Jakarta. Sedangkan Sidang Paripurna Istimewa untuk Anies-Sandi justru menguntungkan masyarakat Jakarta," tutur dia penasaran.
Ia berpendapat, soal tegak lurus yang dimaksud sekretaris DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta itu adalah 'Teuku Umar', tempat kediaman Ketum PDIP. Bukan ke tata tertib.
"Sebab kalau tegak lurus ke tatib atau undang undang, secara otomatis harus dilaksanakan Sidang Paripurna Istimewa DPRD DKI Jakarta, sebagaimana Surat edaran Tjahjo Kumolo, yang tak lain adalah senior Om Pras di PDIP," imbuh Tom.
Karena itu, Tom menambahkan, yang sebenarnya terjadi dalam persoalan ini adalah telah terjadi keributan antara Presiden Jokowi dengan PDIP. Terlihat dari surat edaran yang dikeluarkan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo sebagai pembantu Jokowi sekaligus kader PDIP.
"Lihat saja, sampai kini, PDI-P sebagai partai pengusung Jokowi, belum mendukungnya kembali. Padahal partai lain sudah lebih dulu mendukung pencalonan Jokowi di Pilpres 2019. Saya harap Om Pras tak merusak iklim politik di Jakarta dengan berlindung di belakang tata tertib," pesan Tom.[tsc]