Wawan Wanisar yang memerankan Pierre Tendean |
www.gelora.co - Siang itu cuaca Jakarta cerah. Pada pertengahan 1981. Wawan Wanisar yang tengah bersantai di rumahnya dikejutkan tamu tak dikenal. Tak merasa punya masalah apa pun, dia heran kenapa sang tamu menyatakan keinginannya untuk mengajak dirinya ke rumah Jenderal Besar TNI (pur) Abdul Haris Nasution.
Sebenarnya Wawan merasa bangga lantaran diundang ke rumah Jenderal Nasution. Dia tokoh idolanya. Tapi, ya itu, kenapa undangannya mendadak.
"Beliau (Nasution, Red) sosok yang berwibawa. Saya selalu takjub ketika mendengar ceramah beliau ketika menjadi khatib salat Jumat," kenang Wawan ketika diwawancarai Jawa Pos (25/9).
Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andreas Tendean yang menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965 |
Wawan pada awal 1980-an tinggal di Jakarta Pusat. Tidak jauh dari kediaman Nasution di Jalan Teuku Umar. Setelah purnawirawan, jenderal yang lolos dari penculikan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 itu memang menghabiskan banyak waktunya untuk berdakwah.
Esok harinya Wawan memenuhi undangan untuk datang ke rumah Nasution. Di sanalah dia tahu, orang yang mengundangnya ke Jalan Teuku Umar adalah seorang petugas dari Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN), rumah produksi film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Senang bukan kepalang, pria kelahiran 1949 itu bisa sekadar berjabat tangan dengan tokoh idolanya. Kalau selama ini hanya bisa memandangi wajah Nasution dari jauh, hari itu dia bisa ngobrol dengan sosok murah senyum tersebut sangat dekat.
Di rumah Nasution siang itu juga ada Arifin C. Noer. Wawan cuek saja, tidak tahu maksud kedatangan sutradara kenamaan tersebut di sana. Di dekat Arifin, ada Mitze Farre. Dia adalah kakak kandung mendiang Kapten (Anumerta) Pierre Tendean, ajudan Nasution.
Tanpa sepengetahuan Wawan, Mitze mengamati sosok Wawan. Wajahnya, tubuhnya, dan gerak-geriknya. Tanpa sepengetahuan Wawan pula, pertemuan siang itu sebenarnya adalah casting kilat untuk menentukan layak atau tidaknya Wawan menjadi salah seorang tokoh utama film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Tidak lama bincang-bincang itu berjalan, Mitze terlihat membisikkan sesuatu kepada Arifin. ”Dia orangnya…mirip dengan Pierre,” kata Wawan menirukan ucapan Mitze kepada Arifin yang mampu didengarnya meski diucapkan sambil berbisik.
Belum hilang kekaguman bertamu Nasution, Wawan diajak ke halaman belakang rumah oleh seseorang yang tidak dia kenal dalam pertemuan itu. ”Ikut saya sebentar,” ajak orang tersebut kepada Wawan dengan nada tak bersahabat.
Ajakan tak bersahabat itu sudah membuat jengkel Wawan. Karena tamu, dia ikut saja. Namun, kesabaran Wawan habis ketika orang itu memarahinya di halaman belakang rumah Nasution. ”Saya lupa, dia marah soal apa. Yang pasti sangat menyebalkan,” kata Wawan, lantas tertawa.
Tak terima dimarahi tanpa alasan, Wawan tanpa ba-bi-bu langsung balas membentak. Bukannya membalas bentakan Wawan, pria itu malah berseru kepada Arifin yang ada di ruang tengah. ”Oke nih, Mas,” kata pria yang ternyata asisten sutradara tersebut.
Sejak saat itulah, Arifin memutuskan Wawan menjadi pemeran Pierre Tendean. Bentakan kepada Wawan adalah ujian untuk melihat apakah dia memiliki watak sama dengan sang pahlawan. Sebab, secara fisik, sebagaimana penilaian Mitze, Wawan sudah sangat mirip dengan Pierre.
Hari itu benar-benar penuh berkah bagi Wawan. Bisa bertemu Jenderal Nasution, lalu mendapatkan kepercayaan memerankan pahlawan dalam film yang sangat besar untuk ukuran saat itu. Apalagi jika mengingat fakta bahwa Wawan bukanlah seorang pekerja seni, apalagi aktor. Bahwa dia dibidik Arifin, itu berkat rekomendasi Rudi, temannya yang menjadi aktor sebelumnya.
Suami Sri Rohayati tersebut adalah pengusaha. Dia punya bisnis logistik, jasa angkutan, di kawasan Tanjung Priok. Dia sama sekali tak punya pengalaman akting, figuran pun tidak pernah. Perawakan yang gagah, wajah rupawan, dan sifat temperamen mengantarkan dia menjadi pemeran yang diidamkan banyak aktor top itu.
Wawan pada awalnya sempat ragu, tapi akhirnya menerima peran sebagai Pierre. ”Saya merasa terpanggil untuk terlibat dalam film sejarah, apalagi yang tentang G 30 S/PKI,” kenangnya. Sebagai catatan, pada 1966, sewaktu masih SMA, Wawan bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) yang aktif menuntut PKI dibubarkan.
Sebelum memulai proses syuting, Wawan bersama pemeran lain diwajibkan mengikuti diklat militer selama dua hari. Dalam diklat itu, mereka ”dihajar” instruktur militer. Wawan dkk harus bisa menunjukkan gerakan, sikap, cara bicara, cara berjalan, dan sikap hormat layaknya tentara.
Syuting pertama, Wawan menjalani pengambilan gambar di rumah Nasution. Yakni, adegan ketika Pierre membaca surat cinta dari kekasihnya, Rukmini. Syuting dilakukan di kamar yang pernah ditempati Pierre selama bertugas sebagai ajudan Nasution.
Karena belum ada pengalaman akting, Wawan awalnya kaku saat memerankan Pierre. Ketelatenan dan tangan dingin Arifin membuat Wawan bisa cepat belajar. Arifin juga memberikan hasil risetnya terkait sosok Pierre Tendean kepada Wawan untuk dipelajari.
Selain syuting di rumah Nasution, Wawan mengikuti syuting adegan penculikan dan penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Syuting dilakukan di sebuah kebun karet di Kranggan, Jakarta Timur. Lokasinya mirip dengan kawasan Lubang Buaya. Syuting dilakukan saat subuh lantaran tragedi keji itu terjadi ketika malam.
”Saya baru pertama menjadi aktor. Karena itu, saya harus menutupi kelemahan saya dengan bekerja sepenuh hati,” katanya.
Untuk menghasilkan ekspresi yang mendekati kenyataan, Wawan rela disiksa sungguhan. Salah satunya ketika dia memerankan adegan Pierre diikat di tiang dan dipukul dengan senjata. Saat itu wawan benar-benar dipukul dengan popor bedil. Meski, popornya dilapisi bantalan karet hitam. ”Lumayan sakit juga,” ucapnya.
Tidak hanya itu. Saat adegan tangan Pierre disundut rokok, tangan Wawan juga benar-benar disundut rokok. Panas dan perih dirasakan di bagian pergelangan tangan. Hasilnya, ekspresi dan akting kesakitan benar-benar muncul.
Menurut Wawan, saat pengambilan gambar, Arifin mampu menciptakan suasana tegang dan menyayat hati lewat arahannya yang detail. Satu adegan bisa disyuting berkali-kali demi mendapatkan shot yang sempurna. Arifin juga piawai mengarahkan ekspresi para pemeran agar lebih natural. ”Dia pokoknya jago banget mengarahkan saya dan pemeran lain yang rata-rata orang awam alias bukan aktor,” kata Wawan.
Wawan senang kini film Pengkhianatan G 30 S/PKI diputar kembali di layar kaca. ”Kalau bisa diputar 3,5 jam utuh tanpa dipotong sehingga anak-anak sekarang dapat gambaran penuhnya,” harap ayah enam anak itu. [jpc]
Esok harinya Wawan memenuhi undangan untuk datang ke rumah Nasution. Di sanalah dia tahu, orang yang mengundangnya ke Jalan Teuku Umar adalah seorang petugas dari Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN), rumah produksi film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Senang bukan kepalang, pria kelahiran 1949 itu bisa sekadar berjabat tangan dengan tokoh idolanya. Kalau selama ini hanya bisa memandangi wajah Nasution dari jauh, hari itu dia bisa ngobrol dengan sosok murah senyum tersebut sangat dekat.
Di rumah Nasution siang itu juga ada Arifin C. Noer. Wawan cuek saja, tidak tahu maksud kedatangan sutradara kenamaan tersebut di sana. Di dekat Arifin, ada Mitze Farre. Dia adalah kakak kandung mendiang Kapten (Anumerta) Pierre Tendean, ajudan Nasution.
Tanpa sepengetahuan Wawan, Mitze mengamati sosok Wawan. Wajahnya, tubuhnya, dan gerak-geriknya. Tanpa sepengetahuan Wawan pula, pertemuan siang itu sebenarnya adalah casting kilat untuk menentukan layak atau tidaknya Wawan menjadi salah seorang tokoh utama film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Tidak lama bincang-bincang itu berjalan, Mitze terlihat membisikkan sesuatu kepada Arifin. ”Dia orangnya…mirip dengan Pierre,” kata Wawan menirukan ucapan Mitze kepada Arifin yang mampu didengarnya meski diucapkan sambil berbisik.
Belum hilang kekaguman bertamu Nasution, Wawan diajak ke halaman belakang rumah oleh seseorang yang tidak dia kenal dalam pertemuan itu. ”Ikut saya sebentar,” ajak orang tersebut kepada Wawan dengan nada tak bersahabat.
Ajakan tak bersahabat itu sudah membuat jengkel Wawan. Karena tamu, dia ikut saja. Namun, kesabaran Wawan habis ketika orang itu memarahinya di halaman belakang rumah Nasution. ”Saya lupa, dia marah soal apa. Yang pasti sangat menyebalkan,” kata Wawan, lantas tertawa.
Tak terima dimarahi tanpa alasan, Wawan tanpa ba-bi-bu langsung balas membentak. Bukannya membalas bentakan Wawan, pria itu malah berseru kepada Arifin yang ada di ruang tengah. ”Oke nih, Mas,” kata pria yang ternyata asisten sutradara tersebut.
Sejak saat itulah, Arifin memutuskan Wawan menjadi pemeran Pierre Tendean. Bentakan kepada Wawan adalah ujian untuk melihat apakah dia memiliki watak sama dengan sang pahlawan. Sebab, secara fisik, sebagaimana penilaian Mitze, Wawan sudah sangat mirip dengan Pierre.
Hari itu benar-benar penuh berkah bagi Wawan. Bisa bertemu Jenderal Nasution, lalu mendapatkan kepercayaan memerankan pahlawan dalam film yang sangat besar untuk ukuran saat itu. Apalagi jika mengingat fakta bahwa Wawan bukanlah seorang pekerja seni, apalagi aktor. Bahwa dia dibidik Arifin, itu berkat rekomendasi Rudi, temannya yang menjadi aktor sebelumnya.
Suami Sri Rohayati tersebut adalah pengusaha. Dia punya bisnis logistik, jasa angkutan, di kawasan Tanjung Priok. Dia sama sekali tak punya pengalaman akting, figuran pun tidak pernah. Perawakan yang gagah, wajah rupawan, dan sifat temperamen mengantarkan dia menjadi pemeran yang diidamkan banyak aktor top itu.
Wawan pada awalnya sempat ragu, tapi akhirnya menerima peran sebagai Pierre. ”Saya merasa terpanggil untuk terlibat dalam film sejarah, apalagi yang tentang G 30 S/PKI,” kenangnya. Sebagai catatan, pada 1966, sewaktu masih SMA, Wawan bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) yang aktif menuntut PKI dibubarkan.
Sebelum memulai proses syuting, Wawan bersama pemeran lain diwajibkan mengikuti diklat militer selama dua hari. Dalam diklat itu, mereka ”dihajar” instruktur militer. Wawan dkk harus bisa menunjukkan gerakan, sikap, cara bicara, cara berjalan, dan sikap hormat layaknya tentara.
Syuting pertama, Wawan menjalani pengambilan gambar di rumah Nasution. Yakni, adegan ketika Pierre membaca surat cinta dari kekasihnya, Rukmini. Syuting dilakukan di kamar yang pernah ditempati Pierre selama bertugas sebagai ajudan Nasution.
Karena belum ada pengalaman akting, Wawan awalnya kaku saat memerankan Pierre. Ketelatenan dan tangan dingin Arifin membuat Wawan bisa cepat belajar. Arifin juga memberikan hasil risetnya terkait sosok Pierre Tendean kepada Wawan untuk dipelajari.
Selain syuting di rumah Nasution, Wawan mengikuti syuting adegan penculikan dan penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Syuting dilakukan di sebuah kebun karet di Kranggan, Jakarta Timur. Lokasinya mirip dengan kawasan Lubang Buaya. Syuting dilakukan saat subuh lantaran tragedi keji itu terjadi ketika malam.
”Saya baru pertama menjadi aktor. Karena itu, saya harus menutupi kelemahan saya dengan bekerja sepenuh hati,” katanya.
Untuk menghasilkan ekspresi yang mendekati kenyataan, Wawan rela disiksa sungguhan. Salah satunya ketika dia memerankan adegan Pierre diikat di tiang dan dipukul dengan senjata. Saat itu wawan benar-benar dipukul dengan popor bedil. Meski, popornya dilapisi bantalan karet hitam. ”Lumayan sakit juga,” ucapnya.
Tidak hanya itu. Saat adegan tangan Pierre disundut rokok, tangan Wawan juga benar-benar disundut rokok. Panas dan perih dirasakan di bagian pergelangan tangan. Hasilnya, ekspresi dan akting kesakitan benar-benar muncul.
Menurut Wawan, saat pengambilan gambar, Arifin mampu menciptakan suasana tegang dan menyayat hati lewat arahannya yang detail. Satu adegan bisa disyuting berkali-kali demi mendapatkan shot yang sempurna. Arifin juga piawai mengarahkan ekspresi para pemeran agar lebih natural. ”Dia pokoknya jago banget mengarahkan saya dan pemeran lain yang rata-rata orang awam alias bukan aktor,” kata Wawan.
Wawan senang kini film Pengkhianatan G 30 S/PKI diputar kembali di layar kaca. ”Kalau bisa diputar 3,5 jam utuh tanpa dipotong sehingga anak-anak sekarang dapat gambaran penuhnya,” harap ayah enam anak itu. [jpc]