www.gelora.co - Tidak hanya di sektor pertambangan, obral perizinan di sektor ritel juga terjadi menjelang ajang pemilihan kepala daerah (pilkada). Yang mengenaskan, pendiriannya mengabaikan aturan hukum, berdekatan dekat dengan pasar tradisional.
"Tidak bisa dipungkiri di mulut pasar tradisional, sebelah kiri Alfamart, sebelah kanan Indomaret. Izinnya itu dikeluarkan pada saat menjelang pilkada atau berakhirnya pilkada," ungkap Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita dalam sebuah diskusi di Jakarta, kemarin.
Akibat maraknya minimarket, lanjut Enggar, terjadi penurunan penjualan di pasar tradisional.
Enggar mengungkapkan, pihaknya mencatat saat ini ada hampir 30 ribu unit minimarket tersebar di berbagai daerah. Setiap minimarket mempekerjakan warga lokal. Menurutnya, untuk menertibkan minimarket tersebut tidak mungkin dengan menggusurnya karena akan menimbulkan masalah baru.
"Jika minimarket digusur, ada sekitar 300 ribu orang yang kehilangan pekerjaan. Kita juga tidak mungkin minta itu dibongkar. Sebab, keberadaan minimarket satu keniscayaan yang tidak mungkin kita hentikan. Yang di dalam operasinya menjadi bagian pelayanan masyarakat," ujarnya.
Enggar mengatakan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan membuat peraturan agar persaingan ini bisa semakin sehat. Caranya, membangun kemitraan antara peritel modern dan pedagang tradisional.
Saat ini, lanjut Enggar, aturan dan konsep kemitraan tersebut masih digodok bersama Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
"Nanti dengan kemitraan, peritel modern wajib menjadi pemasok bagi pedagang tradisional," ungkapnya.
Dia menegaskan, meski peritel modern diharuskan menjadi supplier, tapi pedagang tradisional dibebaskan untuk mengambil barang dari mana saja. Dengan demikian, peritel tradisional akan memiliki alternatif sumber pasokan barang yang lebih banyak dan dengan harga yang lebih murah.
Enggar mengaku, sudah berbicara dengan beberapa bank untuk mengatasi masalah pembayaran dan permodalan para pedagang kecil. Menurutnya, perputaran uang yang terjadi, tiap pedagang tradisional mengambil barang dari pemasok bisa mencapai Rp 2,5 juta atau sekitar Rp 10 juta tiap bulannya.
Tiru India
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menginginkan ritel tradisional dan ritel modern mencontoh India. Di Negeri Hindustan itu, ritel tradisional dan modern bisa bersinergi sehingga mereka dapat tumbuh bersama dalam melayani masyarakat.
"Saya surprised di India, ritel tradisional dan ritel modern bisa menghidupkan satu sama lain. Sinergi itu indah sekali," ujarnya.
Hal tersebut, lanjut Darmin, bisa diterapkan di Indonesia. Nanti ritel modern menyediakan sebuah toko yang dikhususkan sebagai perkulakan bagi ritel tradisional untuk mendapatkan harga barang yang murah.
"Ritel modern bisa mendapatkan barang yang jauh lebih murah dari produsen karena mereka membeli dalam jumlah besar dan jangka waktu yang panjang. Tidak apa-apalah mengurangi pendapatan untuk menyediakan tempat perkulakan untuk ritel tradisional," jelasnya.
Darmin juga berharap ritel modern bersedia menerima barang yang diproduksi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Berdasarkan catatannya, untuk memasukkan barang ke ritel modern penyedia barang itu harus menyetor sejumlah uang.
"Ini keluhan dari UMKM, kalau barang masuk ke ritel modern bayarnya mahal. Soal ini harus ada aturan main, kalau tidak nanti UMKM kita tidak bisa apa-apa," tegasnya.
Darmin menilai, jika ritel modern dan ritel tradisional dapat bersinergi, perekonomian Indonesia akan bergerak positif. Sebab, selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan ritel modern Indonesia paling tinggi sedunia.
Sekretaris Jenderal Aprindo Solihin melihat, ritel modern sebenarnya sudah banyak yang melakukan kerja sama dengan pasar tradisional. Misalnya, PTSumber Alfaria Trijaya Tbk. (Alfamart) telah menjalankan berbagai jenis kemitraan dengan pelaku UMKM sejak 2003. Saat ini, bahkan Alfa sedang fokus mengembangkan program Warung Warga.
"Akan ada upgrade warung. Ada 1.500 tim yang bertugas mendampingi 47 ribu warung di seluruh Indonesia," ujarnya. *** [rmol]
Akibat maraknya minimarket, lanjut Enggar, terjadi penurunan penjualan di pasar tradisional.
Enggar mengungkapkan, pihaknya mencatat saat ini ada hampir 30 ribu unit minimarket tersebar di berbagai daerah. Setiap minimarket mempekerjakan warga lokal. Menurutnya, untuk menertibkan minimarket tersebut tidak mungkin dengan menggusurnya karena akan menimbulkan masalah baru.
"Jika minimarket digusur, ada sekitar 300 ribu orang yang kehilangan pekerjaan. Kita juga tidak mungkin minta itu dibongkar. Sebab, keberadaan minimarket satu keniscayaan yang tidak mungkin kita hentikan. Yang di dalam operasinya menjadi bagian pelayanan masyarakat," ujarnya.
Enggar mengatakan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan membuat peraturan agar persaingan ini bisa semakin sehat. Caranya, membangun kemitraan antara peritel modern dan pedagang tradisional.
Saat ini, lanjut Enggar, aturan dan konsep kemitraan tersebut masih digodok bersama Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
"Nanti dengan kemitraan, peritel modern wajib menjadi pemasok bagi pedagang tradisional," ungkapnya.
Dia menegaskan, meski peritel modern diharuskan menjadi supplier, tapi pedagang tradisional dibebaskan untuk mengambil barang dari mana saja. Dengan demikian, peritel tradisional akan memiliki alternatif sumber pasokan barang yang lebih banyak dan dengan harga yang lebih murah.
Enggar mengaku, sudah berbicara dengan beberapa bank untuk mengatasi masalah pembayaran dan permodalan para pedagang kecil. Menurutnya, perputaran uang yang terjadi, tiap pedagang tradisional mengambil barang dari pemasok bisa mencapai Rp 2,5 juta atau sekitar Rp 10 juta tiap bulannya.
Tiru India
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menginginkan ritel tradisional dan ritel modern mencontoh India. Di Negeri Hindustan itu, ritel tradisional dan modern bisa bersinergi sehingga mereka dapat tumbuh bersama dalam melayani masyarakat.
"Saya surprised di India, ritel tradisional dan ritel modern bisa menghidupkan satu sama lain. Sinergi itu indah sekali," ujarnya.
Hal tersebut, lanjut Darmin, bisa diterapkan di Indonesia. Nanti ritel modern menyediakan sebuah toko yang dikhususkan sebagai perkulakan bagi ritel tradisional untuk mendapatkan harga barang yang murah.
"Ritel modern bisa mendapatkan barang yang jauh lebih murah dari produsen karena mereka membeli dalam jumlah besar dan jangka waktu yang panjang. Tidak apa-apalah mengurangi pendapatan untuk menyediakan tempat perkulakan untuk ritel tradisional," jelasnya.
Darmin juga berharap ritel modern bersedia menerima barang yang diproduksi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Berdasarkan catatannya, untuk memasukkan barang ke ritel modern penyedia barang itu harus menyetor sejumlah uang.
"Ini keluhan dari UMKM, kalau barang masuk ke ritel modern bayarnya mahal. Soal ini harus ada aturan main, kalau tidak nanti UMKM kita tidak bisa apa-apa," tegasnya.
Darmin menilai, jika ritel modern dan ritel tradisional dapat bersinergi, perekonomian Indonesia akan bergerak positif. Sebab, selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan ritel modern Indonesia paling tinggi sedunia.
Sekretaris Jenderal Aprindo Solihin melihat, ritel modern sebenarnya sudah banyak yang melakukan kerja sama dengan pasar tradisional. Misalnya, PTSumber Alfaria Trijaya Tbk. (Alfamart) telah menjalankan berbagai jenis kemitraan dengan pelaku UMKM sejak 2003. Saat ini, bahkan Alfa sedang fokus mengembangkan program Warung Warga.
"Akan ada upgrade warung. Ada 1.500 tim yang bertugas mendampingi 47 ribu warung di seluruh Indonesia," ujarnya. *** [rmol]