www.gelora.co - Program nawacita yang yang diusung Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) saat kampanye dulu ternyata di tiga tahun kepemimpinannya sebagai Presiden-Wakil Presiden tak ada yang terealisasi, yang ada hanya kebijakan-kebijakan pro neoliberalisme.
Menurut analis ekonomi politik Abdul Rachim Kresno, ketika Presiden Jokowi mulai menjabat, dia langsung mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), di mana transportasi rakyat langsung meningkat naik dan membuat daya beli masyarakat anjlok.
“Tanpa disadari, ini adalah langkah yang sejalan dengan perekonomian neoliberal yang sangat anti subsidi kepada sektor manapun. Subsidi energi dipandang sebagai distorsi ekonomi dan dikatakan dengan bahasa sederhana sebagai membakar uang di jalan,” sesal dia kepada Aktual.com, di Jakarta Senin (23/10).
Padahal sesungguhnya, subsidi BBM inilah yang selama ini menghidupkan perekonomian rakyat dan mendukung transportasi dan logistik barang dan jasa yang terjangkau.
“Mestinya pemerintah mengikuti apa yang pernah dikatakan ekonom senior DR Rizal Ramli (Menko Ekonomi era Gus Dur). Dia mengatakan bila subsidi mau dikurangi atau dihapus, maka taraf perekonomian rakyat harus dtingkatkan dahulu agar rakyat mampu membelinya. Tapi itu dilakukan oleh pemerintah. Kehidupan rakyat belum sejahtera, BBM sudah naik,” ungkap dia.
Kebijakan ekonomi yang memberatkan dan memperlemah daya beli rakyat ini, kata dia, justru kian dipertajam lagi dengan masuknya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan.
Dia pun langsung memberikan kebijakan pemotongan anggaran sebesar Rp133 triliun di APBN 2016. Padahal Menkeu sebelumnya, Bambang Brodjonegoro juga memotong anggaran Rp50 triliun.
“Jadi total pemotongan anggaran sebesar Rp183 triliun ini dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi 2016 yang hanya 5,02% berakibat besar kepada perekonomian. Sehingga kian menyebabkan lemahnya daya beli seperti dikonfirmasi oleh BPS bahwa bulan Agustus 2017 telah terjadi deflasi,” papar dia. [akt]