www.gelora.co - Ada kegelisahan besar yang terus melintas dalam pikiran terkait upaya-upaya dan kebijakan pemerintahan Jokowi yang berjalan 3 tahun bulan Oktober 2017 ini. Sebuah perjalanan bangsa yang tidak nyaman dari awal pemerintahan ini hingga 3 tahun memerintah. Meski hal ini akan menjadi perdebatan bagi sebagian besar yang mencintai bangsa Indonesia yang berdaulat dengan kelompok masyarakat pendukung pemerintah yang berpikir terlalu liberal dan merasa uang adalah segalanya. Segalanya uang dan mengabaikan kedaulatan negara, mengabaikan keutuhan bangsa dan negara, mengabaikan prinsip negara yang harus berpolitik lua negeri yang bebas dan aktif.
Satu hal yang paling menguatirkan saat ini adalah, pokok pikiran kebijakan yang cenderung mengalihkan kewajiban negara kepada swasta. Ada proyek besar kebijakan yang akan menjadikan swasta sebagai pelaku dan penopang utama kewajiban negara dan membangun infrastruktur untuk kepentingan rakyat. Bahkan ironi besarpun terjadi, yang sudah susah payah dibangun oleh Pemerintahan sebelumnya, dan menjadi milik bangsa sebagai penopang kedaulatan negara, hendak diswastanisasi oleh pemerintahan Jokowi atau bahasa terangnya hendak dijual kepada swasta. Ada banyak infrastruktur yang susah payah dibangun pemerintahan sebelum Jokowi, seperti Bandara, Dermaga atau Pelabuhan, Jalan Tol dan aset-aset BUMN lainnya akan dijual demi mendapatkan uang. Diual dengan judul yang kamuflatif seperti sekuritisasi dan swastanisasi untuk mengurangi beban. Entah beban siapa yang akan dikurangi oleh pemerintah dalam hal ini pun tidak jelas. Bukankah Bandara, Dermaga, Jalan Tol itu memberikan keuntungan kepada Pemerintah? Lantas bebannya dimana?
Kebijakan pemerintah ini tampaknya hanya sebuah pilihan cara mudah tanpa perlu berpikir susah, tanpa harus kerja susah, jual dan dapat uang, kemudian uangnya alihkan ke infrastruktur yang tidak jelas juga skala prioritasnya. Katanya jalan tol untuk konektifitas, bukankah jalan tol itu saat ini banyak dibangun swasta? Bukankah Pembangkit Listrik dibangun swasta? Bukankah semua infrastruktur saat ini dibangun dengan uang yang kemudian dicatat sebagai hutang? Lantas penjualan atau swastanisasi milik bangsa itu untuk yang mana?
Tampaknya ada ke bijakan yang salah dari awal, kebijakan yang tidak dirancang dengan baik, keijakan yang tidak menghitung kemampuan keuangan kita, akhirnya bangsa ini terjerumus kedalam jurang kewajiban yang hanya memperkaya kaum kapitalis atau kaum pengusaha saja. Negara jatuh kedalam kewajiban menjadi tukang cari uang bagi kapitalis, negara menjadi marketing kaum pemilik uang.
Sementara rakyat, entah kapan akan menikmati jalan tol itu dengan gratis sebagai wujud kewajiban negara menyediakan infrastruktur untuk rakyat. Bahkan jalan tol yang sudah lunaspun seperti Tol Jagorawi, tarifnya bukannya turun malah baru saja dinaikkan dengan penyesuaian harga dengan pola jauh dekat oleh Pemerintah Jokowi. Penyesuain itu patut diduga hanya untuk memenuhi keinginan pihak yang akan membeli atau menerima gadai jalan tol itu yang memang masuk dalam program sekuritisasi oleh Pemerintahan Jokowi. Sekali lagi rakyat harus terus membayar untuk hidup dinegaranya.
Program swastanisasi yang sedang dilakukan oleh pemerintah ini, sudah semestinya ditolak oleh DPR, harus ditolak oleh rakyat. Swastaniasi Bandara dan Pelabuhan adalah sama saja membuka dan menelanjangi diri kepada pihak luar yang tentu sangat punya kepentingan untuk melakukan operasi-operasi kepentingan asing di negara ini. Swastanisasi Bandara dan Pelabuhan sama saja artinya memberikan kunci pintu rumah kita kepada pihak asing, karena Bandara dan Pelabuhan adalah pintu masuk kedalam rumah besar bernama Indonesia. Apakah kita akan menyerahkan kunci pintu rumah kita kepada pihak asing?
Swastanisasi ini adalah bentuk pelemahan negara, bentuk mengabaikan kedaulatan negara, bentuk pengabaian terhadap faktor keamanan dan keselamatan negara. Apakah pemerintah akan mengabaikan semua ini hanya demi mimpi infrastruktur pak Jokowi yang sesungguhnya hanya menguntungkan pengusaha? Rakyat hanya akan menjadi objek penanggung beban atas semua beban hutang pembiayaan infrastruktur tersebut. Negara kemudian menjadi deb collector kepada rakyat untuk membayar hutang yang dibuat ugal-ugalan lewat pajal dan pungutan-pungutan lainnya.
Akhirnya rakyat yang terbeban, sementara pemerintah merasa gagah meresmikan infrastruktur milik swasta yang harus dibayar oleh rakyat. Dan ironisnya, masih ada rakyat yang terbius banggsa melihat itu semua, padahal beban telah diletakkan pemerintah secara besar-besaran dipundaknya.
Sebagai penutup, saya meminta dan memohon kepada Presiden Jokowi, agar menghentikan niatnya melanjutkan program swastanisasi Bandar, Pelabuhan dan infrastruktur. Selain karena berbahaya kepada kedaulatan negara, kebijakan tersebut juga tidak lebih dari sebuah fatamorgana. Kita bangun semua, tapi bukan milik kita, sementara rakyat harus membayar untuk yang bukan milik kita.
Hentikan swastanisasi, karena itu sama saja artinya menyerahkan negara kepada swasta dan itu melanggar konstitusi, mengalihkan kewajiban negara kepada swasta, bahwa Pemerintah berkewajiban menjaga segenap tumpah darah Indonesia, artinya menjaga itu tidak menyerahkan kepada swasta, itu salah satunya. [nst]