www.gelora.co - Penerbitan Perppu Nomor 2 tahun 2017 terkait pembubaran ormas menjadi momok menyeramkan bagi kebebasan hak berserikat dan berkumpul. Perppu itu telah digunakan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pada akhirnya, orang-orang yang pernah terkait dengan HTI dicari-cari dan terancam sanksi mirip dengan kasus perburuan orang-orang terlibat PKI di zaman orde baru.
Untuk mendapatkan pemahaman lebih jauh, Kiblat.net mewawancarai Yati Andriyani, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) pada Rabu, 26 Juli 2017.
Bagaimana KontraS melihat fenomena perburuan anggota HTI pasca dibubarkan?
Potensi-potensi itu mungkin saja terjadi ya, ada Perppu yang dikeluarkan kemudian ada pernyataan-pernyataan sporadis yang dikeluarkan aparat-aparat negara. Misalkan mencabut kewarganegaraan atau misalkan disebutkan dihentikan dari pekerjaannya gitu.
Pernyataan-pernyataan sporadis ini akan sangat berbahaya kalau dia tidak dikeluarkan secara baik, tidak dilakukan dengan parameter-parameter yang terukur. Karena nanti publik masyarakat akan dengan sangat mudah menerjemahkan dengan subjektivitasnya masing-masing, itu termasuk ini.
Secara tidak langsung bisa mengirim orang untuk stigma dan diskriminasi orang-orang yang dianggap terkait dengan kelompok tertentu yang sudah dibubarkan.
Jadi memang seharusnya menurut saya, pemerintah harus memastikan juga di lapangan, bahwa hadirnya Perppu ini tidak menambah potensi konflik antar masyarakat atau tidak menambah potensi-potensi diskriminasi, stigma terhadap siapa pun termasuk terhadap orang-orang yang terlibat di dalam organisasi yang dilarang oleh pemerintah.
Karena kalau pemerintahnya justru masing-masing menerjemahkan, oke karena sudah ada Perppu kita akan lakukan A, sudah ada Perppu kita akan lakukan B, itu akan sangat berbahaya karena ukuran-ukurannya akan bermacam-macam gitu.
Jadi Peppu ini bisa ditafsirkan bermacam-macam, sesuai dengan keinginan yang memakainya?
Itu dia, kawan kita bilang, Perppu ini substansi beberapa pasal di dalamnya pertama dalam pasal 59 itu kan masih sangat muatannya masih sangat multitafsir. Sehingga memang akan sangat rentan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan sepihak, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat yang merasa bertentangan atau berbeda dengan kelompok-kelompok tersebut.
Lantas bagaimana solusinya?
Jangan Perppu ini menjadi alasan buat aparatur negara untuk secara sporadis mengeluarkan statement-statement yang justeru bisa menimbulkan diskriminasi, stigma atau kecurigaan di masyarakat.
Perppu ini secara substansi saja kami berpikir masih bermasalah, sehingga efek-efek buruk yang ada di lapangan harus dihindari sebisa mungkin oleh pemerintah. Jangan sampai nanti Perppu ini seperti jadi alasan yang orang bisa mengambil tindakan-tindakan seenaknya.
Soal upaya gugatan judicial review terhadap Perppu?
Itu hak konstitusional yang bisa digunakan, dan kita uji juga kira-kira mekanisme hukum yang ada di negara ini masih objektif atau tidak, apakah dia memang betul-betul bekerja untuk penegakan hukum, keadilan atau tidak. Itu akan sangat diuji nanti dengan pertimbangan-pertimbangan hakim yang memutuskan.
Sebagai sebuah hak konstitusional saya rasa yang tepat ditempuh untuk menguji apakah Perppu ini memang sesuai konstitusi atau Perppu ini bertabrakan atau tidak dengan hak konstitusional warga negara yang lainnya.
Apakah KontraS juga kan mengajukan gugatan yang sama?
Kita dengan temen-temen masih berdiskusi. Tapi bahwa sikap kami menolak Perppu, karena buat kami ancaman terhadap demokrasi dan penegakan hukum sangat potensial terjadi.
Selain substansi yang ada dalam pasal-pasal Perppu ini sangat karet dan multitafsir juga karena yang paling penting adalah Perppu menegasikan mekanisme judicial, mekanisme pengadilan sebagai salah satu mekanisme check and balance, dalam mengambil keputusan apakah sebuah ormas ini dianggap bertentangan atau tidak.
Sebuah ormas ini dianggap melakukan suatu pelanggaran atau tidak buat kami yang paling penting adalah, penegakan hukum yang dimulai dengan ketaatan negara mengikuti mekanisme hukum yang ada, di dalam konteks ini ada ketidak fairan dari negara.
Kita mengerti, kita tahu bahwa radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hari ini jadi persoalan besar tren global, terjadi juga di Indonesia. Tetapi bukan berarti menyelesaikannya dengan cara-cara yang justru tidak sesuai dengan konstitusi secara tidak sesuai dengan hukum, karena kalau tidak sesuai dengan hukum, dengan konstitusi artinya dia berdampak pada pelanggaran. Semua harus bisa diselesaikan dengan cara-cara yang sudah diatur di dalam konstitusi kita, dalam aturan hukum
Siapa saja yang berpotensi jadi korban persekusi dengan adanya Perppu ini?
Kan di situ semua ormas, bahkan tidak ada kata-kata bahwa ini untuk ormas disebutkan kelompok tertentu, enggak kan. Justeru untuk ormas-ormas mereka yang penistaan penodaan agama atau kemudian bertentangan dengan pancasila, atau mengajarkan mengembangkan paham paham anti pancasila.
Nah, itu kan juga sangat karet, bagaimana misalnya studi-studi mahasiswa tentang marxisme, leninisme, itukan yang namanya pemikiran orang itukan sesuatu yang dijamin, itu hak asasi semua warga negara.
Kalau nanti ditafsirkan bahwa ini adalah dianggap bagian yang melanggar Pancasila, atau bertentangan dengan Pancasila kan juga sangat berbahaya gitu. Tidak ada batasan-batasan yang clear dalam hal ini, dan sebetulnya kalau dia diuji melalui pengadilan itu akan jauh lebih fair.
Apa solusinya?
Sekali lagi saya mau bilang di sini, masalah ini kalau dia bisa diuji pelanggaran ini untuk bisa dibuktikan dan diuji melalui mekanisme yudisial, mekanisme pengadilan itu akan jauh lebih baik. Ini masalahnya hanya pemerintah yang punya kewenangan untuk secara subjektif menentukan apakah ormas A ormas B ini bermasalah atau tidak.
Ketika kita dianggap bermasalah itu harus dibuktikan dan bukti itu harus diuji, nah mekanisme dalam Perppu ini tidak ada. [kn]