www.gelora.co - Presiden Joko Widodo masih tak terima daya beli dianggap anjlok. Justru hal ini karena adanya pergeseran konsumsi dari sistem offline bergeser ke sistem online.
Bahkan, Jokowi menuding perubahan daya beli yang menurun ini justru dimunculkan oleh lawan politiknya untuk jangka pendek yakni Pilpres 2019.
Tentu saja sikap Presiden seperti itu sangat disayangkan. Terutama bagi para pelaku bisnis sektor ritel yang mengalami langsung adanya penurunan daya beli ini.
“Kalau Pak Presiden bicara data, mungkin punya sumber yang lain. Tapi kami hanya menjelaskan apa yang kami alami di lapangan. Mungkin datanya berbeda karena Presiden menyangkut semua sektor,” keluh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta kepada Aktual.com di Jakarta, Rabu (4/10).
Sekarang, dia sendiri menyerahkan ke pemerintah soal daya beli masyarakat ini. Biarkan Presiden Jokowi dan menterinya yang menyelesaikan masalah ini. Pihaknya disebut enggan untuk berkomentar lebih banyak lagi. Padahal datanya sangat kuat.
“Kami sudah enggan lagi memprediksi bahwa daya beli masyarakat itu ke depannya akan seperti apa. Biar pemerintah yakin saja dengan apa yang mereka kerjakan,” ujar dia.
Secara pribadi, dia sendiri percaya dengam kinerja Jokowi, namun dalam mengelola negara terutama sektor ritel agar daya beli masyarakat naik perlu kerja sama tim, terutama dari para menterinya.
“Karena negara sebesar ini perlu team work untuk menggenjot daya beli ya,” kata dia dengan menambahkan kalau dirinya enggan mengomentari sisi politis yang diembuskan Jokowi itu.
Jika alasannya beralih ke belanja online atau e-commerce, Tutum berharap data yang disuguhkan pemerintah tepat. Karena data yang dia alami sudah sangat parah anjloknya daya beli ini.
“Jadi kalau mau ngomong, kalau disebut terjadi pergeseran konsumsi ke e-commerce, ya analisa mereka tidak salah. Tapi yang salah kesimpulannya. Kami ini pelaku di lapangan. Kalau disebut shifting (ke e-commerce). Itu betul. Tapi saya cek produknya, apa semua lewat online? Tidak,” kata dia lagi.
Menurutnya, barang-barang yang dibeli lewat bisnis online itu hanya barang berupa gadget dan fashion. Tapi tidak dengan makanan. Sementara kondisi di minimarket yang dilaporkan ke dirinya, dari sekitar 3.000 item produk kelas bawah ternyata itu tak laku.
“Apa orang mau beli mi instan tiga bungkus lewat online? Tidak dong, keburu kelaparan mereka. Dan produk seperti itu tidak di-online-kan. Mungkin susu bayi iya ada yang online, tapi produk itu sudah lama di-online-kan kok. Tapi kenapa daya belinya menurun sekarang?” tegas dia.
Menurutnya, data-data yang disodorkan itu tidak mengada-ada. Bagi pelaku bisnis ritel itu mereka merasakaan betul penurunama daya beli ini, terutama dialami peritel mini market.
“Karena kalau penjualan ritel mini market turun, berarti daya beli masyarakat bawah sedang anjlok. Itu kondisi yang terjadi di lapangan,” klaim Tutum.
Menurut Jokowi kemarin, soal daya beli tidak bisa dilepaskan dari fenomena peralihan toko offline ke toko online. Padahal, klaim dia, daya beli tak benar-benar anjlok. Dia mengemukakan angka-angka sebagai bukti.
“Saya terima angka, jasa kurir naik 135 persen di akhir September ini. Kita ngecek DHL, JNE, Kantor Pos, saya cek. Saya kan juga orang lapangan,” klaim dia.
Bukti kedua, ada kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang berasal dari pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredaran dari produsen ke konsumen. Kenaikannya sebesar 12,14 persen. Ini membuktikan bahwa ada aktivitas ekonomi yang bertumbuh.
“Baru tadi pagi (kemarin) saya terima (data ini). Kenapa nggak cinfident sih? Angka-angka ini riil,” klaim Jokowi. [akt]