Toto Izul Fatah |
www.gelora.co - Isu pribumi yang bergulir kencang belakangan ini dinilai tak berefek pada kerontokan citra personal Anies Baswedan sebagai gubernur yang baru dilantik. Pernyataannya soal pribumi yang “digoreng” oleh lawan-lawan politik Anies dengan melaporkannya ke polisi, justru makin mendongkrak kesukaan dan simpati mayoritas publik kepadanya.
Demikian disampaikan peneliti senior LSI Network Denny JA, Toto Izul Fatah kepada Republika.co.id di Jakarta ( 20/10) menanggapi pro kontra seputar pidato Anies Baswedan saat pelantikannya sebagai gubernur DKI Jakarta di Istana Negara beberapa waktu lalu.
"Saya menduga, jika dilakukan survei hari ini, elektabilitas Anies makin meroket. Yang mendukung dan simpati kepada Anies akan lebih banyak ketimbang yang menolak,” ungkap Toto.
Karena itu, menurut dia, jika upaya melaporkan Anies ke polisi itu bermuatan politik untuk merusak citra Anies, cara seperti tiu pasti salah, tidak cerdas, tidak tepat dan tidak strategis. Sebab, dengan menggulirkan isu tersebut, baik melalui proses hukum maupun demo, justru akan membuat image personal Anies makin moncer.
Toto berpendapat, dari perspektif komunikasi publik, ia menilai sangat tidak cerdas dan ceroboh apa yang dilakukan lawan politik Anies itu. Walaupun, dikemas dengan ramuan sosial yang public intrest seperti berpotensi memecah belah bangsa atau ramuan hukum dengan adanya celah pelanggaran pidana dan lain-lain.
“Salah besar jika ingin merusak citra Anies dengan manuver seperti itu. Sebab, isu pribumi itu sebenarnya bisa lebih seksi dari isu PKI. Kalau ini terus digulirkan, justru Anies yang akan menuai keuntungan politiknya. Atau, jangan-jangan, isu pribumi ini sengaja digulirkan Anies untuk tujuan itu, memancing reaksi lawan, dan ketika lawan bereaksi alias terpancing, Anies menuai dukungan dari isu itu. Ini artinya, Anies lebih cerdas dibanding lawan politiknya,” tegasnya.
Saat ditanya alasan yang membuat isu pribumi ini lebih kuat ketimbang isu PKI, Toto berpendapat, isu pribumi memiliki masa kadaluarsa yang sangat panjang, mengingat sampai saat ini masih menjadi bagian dari realitas politik dan sosiologis bangsa Indonesia, bahkan dunia. Lihat saja PBB sendiri, sebagai organisasi rujukan dunia, memberi ruang terbuka untuk memperingati Hari Pribumi Internasional pada setiap 9 Agustus sejak 1994.
Berbeda dengan isu PKI yang masa kadaluarsanya relatif pendek karena baik secara politik maupun sosiologis sangat segmented. Begitu juga aspek ruang dan waktu serta unsur kepentingan publiknya.
Sedangkan isu pribumi ini sudah menjadi fenomena mendunia, terjadi di hampir setiap negara. Termasuk, Indonesia, sebagai negara yang pernah dijajah Belanda dan Jepang, dimana isu pribumi itu sempat tumbuh subur sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Karena itu, lanjut dia, dalam melihat dan menyikapi pro kontra isu pribumi ini tak perlu dengan kepala panas. Tinggal, dari sisi mana melihatnya. Yang penting, isu itu bergulir dalam koridor sosial yang wajar, tidak merembet pada aksi sosial yang anarkis dan barbar.
“Justru lebih baik kita buka isu itu ketimbang disimpan di laci yang pada saatnya meledak juga karena menyimpan bara. Anggap saja ini sebagai realitas sosiologis yang harus menjadi panduan berbangsa dan bernegara dengan tidak mengusiknya lewat ketidakadilan, kezdoliman dan kesewenang-wenangan. Sehingga, semua pihak berkaca diri. Yang pengusaha berkaca, yang berkuasa juga berkaca, bahwa kita ini masih menghadapi fakta tingginya kemiskinan dan lain-lain,” jelas Toto.
Dalam pandangan Direktur Citra Komunikasi LSI Denny Ja ini, siapa saja boleh mengganggap dirinya pribumi sepanjang orang tersebut cinta tanah air, pro NKRI dan setia kepada Pancasila. Dengan begitu, ada pribumi yang sunda, jawa, Tionghoa, Arab, Papua dan seterusnya. “So, apa yang salah dengan sebutan pribumi. Toh, selama ini juga kita tak mempersoalkan adanya Bank Boemi Putra yang berarti pribumi. Betgitu juga HIPMI, Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia,” tegasnya.