GELORA.CO - Setelah melalui pembahasan alot dalam Rapat Parpurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa, 24 Oktober 2017, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) telah resmi menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon.
Politisi Partai Gerindra tersebut mengetuk palu setelah proses voting dimenangkan oleh tujuh fraksi yang mendukung perubahan Perppu Ormas menjadi UU, yakni PKB, PDIP, Golkar, Hanura, PPP, Nasdem, dan Demokrat. Sedangkan tiga fraksi menolak, yaitu PKS, PAN, dan Gerindra.
Dalam rapat yang dihadiri oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkum HAM Yasonna Laoly, dan Menkominfo Rudiantara, Fadli Zon menjelaskan, dari total 445 yang hadir, setuju 314, dan 131 tidak setuju.
“Maka rapat paripurna menyetujui Perppu Nomor 2/2017 tentang ormas menjadi UU,” kata Fadli sambil mengetuk palu tanda pengesahan.
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menyatakan, konsekuensi hukum disahkannya Perppu Ormas menjadi UU adalah gugurnya seluruh gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi tentang Perppu Ormas.
Sebagaimana dimaklumi, sambung Robikin, ada 35 lebih gugatan judical review di MK tentang Perpu Ormas yang hingga saat disahkannya Perpu Ormas menjadi UU hari ini, Selasa, 24 Oktober 2017 masih dalam tahap pembuktian. Yakni dalam tahap pemeriksaan saksi dan ahli, baik dari pihak Pemohon (Penggugat) maupun Pemerintah dan Pihak Terkait.
“Oleh karena Perpu Ormas diterima DPR sebagai UU, sedangkan proses persidangan di MK belum berakhir atau belum diputus, maka seluruh gugatan yang ada gugur demi hukum karena Perppu yang digugat sudah tidak ada lagi (non existing),” ujar Robikin, dikutip dari NUOnline.
Perppu ini mengatur soal ormas. Salah satu aturan yang mencolok dalam perppu ini adalah soal pembubaran ormas yang dianggap radikal atau bertentangan dengan ideologi Pancasila tanpa melalui jalur pengadilan.
Setelah Perppu Nomor 2 Tahun 2017 mengenai Organisasi Kemasyarakatan disahkan menjadi Undang-Undang, Hizbut Tahrir Indonesia yang telah dibubarkan berharap anggota dan pengurus mereka tidak ditangkapi.
"Tentu kita tidak berharap itu terjadi. Karena apa salah HTI? Selama ini kita menyelenggarakan dakwah dengan tertib, dengan santun, dengan damai . Tidak pernah ada catatan anarkisme sama sekali. Jadi, apa yang dipersalahkan kepada HTI dan kepada anggota serta pengurusnya? Tidak ada," tutur Ismail Yusanto, juru bicara HTI.
Bagaimanapun, Ismail cepat menambahkan bahwa meski HTI merasa tidak berbuat salah, pemerintah dapat menahan anggota dan pengurus HTI kapan saja.
"Kita menyadari bahwa pemerintah bisa saja menggunakan segenap kewenangan yang dipunyai berdasarkan Perppu yang sudah menjadi undang-undang. Itu bisa dilakukan (penangkapan)," kata Ismail.
Secara terpisah, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah, Bambang Pranowo, menduga anggota dan pengurus HTI akan lebih bersikap hati-hati agar tidak memicu aksi penangkapan. Walau demikian, Bambang menilai HTI bakal terus mengusung kekhilafahan.
"Mereka akan terus dengan cara mereka sendiri. Misalnya, dalam Pilkada dan Pilpres nanti, partai-partai yang mendukung Perppu Ormas tidak akan mendapat suara di kalangan mereka," kata Bambang, dikutip dari Tribunnews.com.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pemerintah mempersilakan DPR mewacanakan revisi perppu yang disahkan menjadi undang-undang. Namun ia menyebut pemerintah tak akan bernegosiasi soal asas Pancasila dan UUD 1945 yang wajib dianut setiap ormas.
"Pemerintah pada prinsipnya terbuka untuk koreksi dan penyempurnaan terbatas, tapi Pancasila adalah kata final. Untuk yang lain kami terbuka," ujarnya.[]