www.gelora.co - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Rakornas Kadin Tahun 2017 bahwa isu penurunan daya beli masyarakat sengaja dipolitisasi oleh lawan-lawan politiknya untuk kepentingan 2019.
Menurut Fadli, penurunan daya beli adalah isu ekonomi yang telah lama di-sounding, baik oleh para pengusaha maupun para ekonom. Penurunan itu terjadi sejak akhir 2014, saat pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai mencabuti subsidi BBM dan berbagai subsidi untuk rakyat lainnya.
''Isu tersebut makin mengemuka sesudah pemerintah mencabut juga subsidi listrik untuk 23 juta pelanggan rumah tangga golongan 450 volt ampere (VA) dan 900 VA pada Januari 2017 lalu. Jadi, itu sebenarnya adalah isu ekonomi lama,” ujar Fadli dalam keterangan persnya, Sabtu, (7/10/2017).
Merujuk data BPS, kata Fadli, misalnya, konsumsi rumah tangga kuartal II tahun ini memang hanya tumbuh 4,95 persen, padahal pada kuartal II tahun lalu mencapai 5,07 persen. Indikator lainnya juga tidak bagus. Pertumbuhan konsumsi listrik kita bahkan penurunnya lebih besar lagi. Sepanjang tahun ini, misalnya, konsumsi listrik di semua golongan hanya tumbuh 1,37 persen. Padahal, periode yang sama tahun lalu pertumbuhannya mencapai 7,8 persen.
“Sebelumnya tidak ada yang pernah menjadikan persoalan ekonomi ini sebagai persoalan politik. Justru pernyataan Presiden kemarinlah yang telah menjadikan isu ekonomi itu kemudian seolah menjadi isu politik,” ujarnya
“Saya kira lucu dan memprihatinkan jika Presiden mengingkari penurunan daya beli masyarakat. Saya sebut lucu, karena penurunan daya beli ini datanya berasal dari BPS. Sejak Juli 2017 isu ini juga telah dibahas dan diakui oleh sejumlah menteri, termasuk Gubernur Bank Indonesia, dan pada 4 Agustus lalu Presiden sendiri bahkan pernah mengumpulkan 18 menteri di Istana untuk membahas cara mengatasi persoalan tersebut. Lho kok sekarang tiba-tiba disangkal jika persoalan itu tidak pernah ada dan disebut hanyalah merupakan gorengannya lawan-lawan politiknya saja?!? Bagi saya pernyataan itu lucu,” tambahnya.
Tak hanya itu, Ketum HKTI itu menilai, pernyataan Jokowi sangat memprihatinkan. Pasalnya, penurunan daya beli ini adalah fakta, secara akademis ada datanya, dan secara riil pengusaha dan masyarakat telah sejak lama mengalami dan merasakannya.
''Setiap kali saya turun ke daerah pemilihan, terutama dalam dua semester terakhir, soal penurunan daya beli dan lesunya ekonomi ini selalu menjadi keluhan utama. Saya yakin anggota DPR lainnya setiap kali reses atau turun ke daerah pemilihannya juga menerima keluhan serupa,” jelasnya.
Kini, persoalannya bagaimana pemerintah akan bisa mengatasi persoalan penurunan daya beli ini, jika di sisi lain pemerintah menganggap persoalan tersebut tidak ada?! ''Ini benar-benar memprihatinkan. Padahal, 56,94 persen struktur PDB kita disumbang oleh konsumsi masyarakat. Isu ini vital sekali,” tegasnya.
Fadli juga menunjuk fakta bahwa tutupnya sejumlah pusat perbelanjaan, gerai ritel, mal, dan toko tak bisa disangkal sebagai disebabkan oleh masyarakat kini lebih senang belaja online daripada offline. Sebab, transaksi e-commerce itu porsinya baru satu persen saja dari total transaksi ritel nasional, belum signifikan.
Melalui sejumlah pernyataan, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini mengingatkan pemerintah bahwa dalam jangka pendek, persoalan ekonomi utama yang harusnya diselesaikan pemerintah adalah soal daya beli masyarakat. Baru, dalam jangka panjang, pemerintah membenahi kemampuan produksi nasional. Berikutnya baru infrastruktur. Sebab, infrastruktur bisa menggerakkan ekonomi hanya ketika daya beli masyarakat telah pulih, dan kita berhasil menghentikan laju deindustrialisasi, dan bukan sebaliknya.
“Kebijakan fiskal yang ketat dalam tiga tahun terakhir tidak bagus bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat. Seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk merangsang kegiatan ekonomi masyarakat dan memecahkan persoalan mendesak jangka pendek. Tidak seharusnya di tengah-tengah keterbatasan anggaran dan penerimaan negara, pemerintah terus-menerus memprioritaskan anggaran untuk belanja infrastruktur,“ ungkapnya.
“Masyarakat harus jeli melihat bahwa ada sesuatu yang aneh dalam cara pemerintah mengelola anggaran selama ini. Sementara belanja kementerian dan lembaga terus-menerus dikurangi dan dipotong dalam dua tahun terakhir, termasuk dana transfer ke daerah, belanja infrastruktur tidak pernah dikoreksi sama sekali. Ini jadi menguatkan kesan jika agenda pembangunan infrastruktur yang selama ini telah berjalan sebenarnya hanya berorientasi proyek, tidak berorientasi kepada masyarakat. Sebab, ekses belanja infrastruktur bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat terbukti diabaikan oleh pemerintah,” pungkasnya. [htc]