www.gelora.co - Selama seminggu ini, pemberitaan dipenuhi dengan berbagai berita yang berfokus pada Polisi Republik Indonesia (Polri), baik yang langsung bersumber dari institusi aparat penegak hukum ini, maupun yang secara tidak langsung terkait dengan mereka.
Dipicu dari pernyataan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo tentang akan adanya impor 5000 pucuk senjata, yang terekam lewat sebuah audio 2 menit 58 detik, yang disampaikan pada acara silaturahim antara Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9).
Akibat pernyataan Jendral Gatot yang semestinya hanya untuk konsumsi diacara tersebut, akhir pekan yang tenang menimbulkan goncangan di Indonesia. Tak pelak Menkopolhukam, Jendral (purn) Wiranto pun turun tangan mengklarifikasi yang intinya 'membantah' informasi yang terlanjur tersiar ke publik tersebut.
Namun publik nampaknya tidak mudah percaya dengan klarifikasi Wiranto, mata kemudian tertuju ke institusi Polri, yang dalam pernyataan Jendral Gatot sempat disebut "akan diserbu jika memiliki senjata yang dapat menghancurkan Tank, Pesawat dan kapal".
Polisi pun dibuat sibuk memberikan klarifikasi atas pernyataan Jendral Gatot tersebut.
Klarifikasi yang dilakukan Mabes Polri, ternyata malah menimbulkan tanda tanya besar, bukannya mengakhiri polemik yang terlanjur mulai melahirkan 'ketidakpercayaan' pada institusi berbaju coklat ini.
Satu waktu polisi nyatakan tidak memiliki senjata berat berstandar militer, tapi kemudian terbantahkan dengan sebuah video dan foto yang diuanggah di sosial media, yang memperlihatkan pasukan Brimob Polri sedang menggunakan Pelontar Granat dalam sesi latihannya.
Kembali mabes Polri klarifikasi bahwa video dan foto yang beredar adalah saat Polri masih bersama TNI dalam institusi ABRI, dan senjata pelontar granat itu sudah tidak dimiliki. Tapi kemudian muncul 'analisa', juga di sosial media, yang membuktikan bahwa pernyataan Mabes Polri adalah 'tidak benar', dibuktikan adanya 'smartphone' yang terlihat digunakan dalam video/foto latihan Brimob tersebut.
Nampaknya kepercayaan masyarakat makin menurun akibat klarifikasi-klarifikasi Polri yang selalu terbantahkan tersebut.
Dan semakin gawat, sorotan masyarakat kepada Polri pada akhir pekan ini semakin tajam.
Sepanjang Sabtu (30/9) kemarin, tersiar kabar lewat pesan berantai yang kemudian diunggah juga ke media sosial tentang masuknya senjata berat, berstandar militer, di Bandara Seokarno Hatta (Soetta). Dan yang mengangetkan jumlahnya lebih dari 5000, yang membuat dugaan-dugaan apakah ini yang dimaksud lewat pernyataan Panglima TNI.
Sempat membantah, namun kemudian dikoreksi oleh Mabes Polri, bahwa memang polisi mengimpor senjata Peluncur Granat (SAGL) tersebut sebanyak 280 pucuk dan amunisi granat berjenis amunisi 40 mm, 40 x 46 mm round RLV-HEFJ sebanyak 5932 butir.
Dalam konfrensi pers yang berlangsung hingga tengah malam, Komandan Brimob Polri Irjen Murad Ismail, katakan pelontar granat yang diimpor tidaklah mematikan hanya senjata kejut. Namun dari penelusuran SERUJI spesifikasi dari amunisi atau granatnya yang berjumlah lebih 5000 tersebut adalah dengan daya ledak tinggi berstandar militer dan mematikan.
Nah ???
Ditengah kalang kabutnya polisi mengklarifikasi dan kemudian warganet dizaman digital yang demikian terbuka dengan data mudah diakses ini membantah klarifikasi tersebut lengkap dengan bukti, mencuat juga sebuah berita terkait aktivis Muslim yang menggunakan sosial media sebagai sarana menyampaikan kritiknya, Jonru Ginting, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh penyidik Polri.
Pembaca gempar dan warganet juga heboh, berita penahanan Jonru jadi treding topik yang panas, silih berganti dengan soal senjata yang diduga diimpor Polisi yang kemudian terbukti.
Penetapan Jonru sebagai tersangka demikian cepat, hanya beberapa hari setelah laporan Muannas Al Aidid dengan tuduhan dugaan melakukan pidana ujaran kebencian, dengan nomor laporan LP/4153/VIII/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus tertanggal 31 Agustus 2017.
Kecepatan penetapan Jonru sebagai tersangka dan kemudian ditahan ini lah yang menjadi perbincangan warganet. Bukan karena cepatnya tapi karena ada perbedaaan 'kecepatan' dalam penanganan perkara ujaran kebencian yang sama terhadap pihak lain, yang juga telah dilaporkan berbagai pihak.
"Koq, Jonru cepat sekali ya? kenapa Nathan sudah berbulan-bulan ndak jelas kasusnya," demikian berbagai status mirip-mirip yang beredar di sosial media, memperbandingkan ujaran kebencian dan ancaman pembunuhan yang juga sempat heboh dilakukan oleh seorang pengusaha Komputer dari Surabaya lewat akun twitternya kala itu.
Malah dari catatan SERUJI, juga ada kasus Victor Laiskodat, Politisi NasDem yang diduga melakukan ujaran kebencian lewat pidato politiknya di Kupang pada 1 Agutus 2017, yang hingga saat ini, sudah berjalan 2 bulan, masih belum ada kabar kelanjutannya, bahkan diperiksa saja belum.
Status kasus Victor Laiskodat ini dari catatan SERUJI terakhir, baru tahap dipelajari oleh Bareskrim Polri.
Terkait kasus Jonru yang jadi sorotan ini, Ferry Koto, Pimpinan Umum SERUJI saat menjadi narasumber dalam talkshow Radio Dakwah Syariah (RDS) Solo, Sabtu (30/9), mengatakan bahwa yang jadi perhatian publik bukan soal penegakkan hukumnya, yang memang harus ditegakkan karena ada Undang Undang yang telah mengatur, tapi soal rasa keadilan masyarakat yang terusik.
"Terlihat nyata, kepada pihak yang posisinya kritis pada kekuasaan atau orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, Polisi demikian sigap dan cepat melakukan penegakan hukum ujaran kebencian, sebaliknya pada pihak yang mendukung pemerintah, pro pada kekuasaan, polisi cenderung tidak mengambil tindakan atas ujaran kebencian yang juga kontens nya kasat mata, sama berupa ujaran kebencian," kata Ferry.
Nampaknya kehebohan minggu lalu, mulai dari pernyataan Jendral Gatot Nurmantyo yang pelan tapi pasti dibeberapa hal mulai terbukti, serta kasus Jonru yang mengusik rasa keadilan masyarakat, akan terus berlanjut hingga minggu ini. Dengan sebuah pertanyaan besar, "Bagaimana selanjutnya citra Polisi di Masyarakat?"
Tentu kita berharap, Polisi sebagai aparat penegak hukum dapat mengangkat citranya, terjaga kepercayaan masyarakat pada institusinya.
Karena kemana lagi masyarakat akan percaya, mencari kebenaran dan keadilan atas penegakkan hukum, jika tidak dimulai dari Polisi?
Surabaya, 1 Oktober 2017 di Hari Kesaktian Pancasila yang (mungkin) mulai terlupa.
Redaksi Seruji [sj]