Analisis Denny JA soal Kata 'Pribumi' yang Berubah Jadi Sensitif

Analisis Denny JA soal Kata 'Pribumi' yang Berubah Jadi Sensitif

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Peneliti LSI Denny JA mengatakan kata 'pribumi' dalam pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi sensitif karena adanya kesadaran kolektif mayoritas menyusun perjuangan ekonomi dan politik. Longgarnya definisi kata 'pribumi' serta adanya problem ekonomi dan politik menyebabkan kata tersebut menjadi sensitif.

"Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan 'pribumi' sebagai penghuni asli, yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Dalam bahasa Inggris, ia diterjemahkan sebagai indigenous people," kata Denny dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Rabu (18/10/2017).

Denny mengatakan PBB selaku lembaga tertinggi dunia, sejak 1994, menetapkan hari internasional bagi rakyat pribumi di seluruh dunia. Hari itu jatuh pada 9 Agustus. Menurutnya, di situlah momen kaum pribumi di seluruh dunia merayakannya, sekaligus mendiskusikan kondisinya.

"Di Indonesia, kata 'pribumi' juga bahkan menjadi nama sebuah organisasi resmi di Indonesia. Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi). Pada 2015, bahkan pemerintahan Jokowi, yang diwakili Wakil Presiden Jusuf Kala, juga menghadiri acara pengusaha pribumi itu," sebut Denny.

"Pertanyaannya, mengapa hak kaum pribumi yang justru dirayakan oleh dunia, dan di Indonesia sendiri ada organisasi resmi menggunakan kata 'pribumi', seperti Hippi, kini menjadi begitu sensitif di Jakarta atau Indonesia, ketika Anies Baswedan mengutipnya dalam pidato?" tambahnya.

Penyebabnya adalah longgarnya definisi kata 'pribumi' serta adanya problem ekonomi dan politik dengan kata 'kaum pribumi.'

"Jika pribumi didefinisikan sebagai melayu muslim, mereka mayoritas dalam jumlah, tapi merasa minoritas dalam penguasaan ekonomi. Dan kini mereka mulai khawatir pula dominasinya dalam politik terancam. Kesadaran kolektif ekonomi-politik kaum pribumi ini yang memang sensitif karena konteks ekonomi-politik Indonesia," jelas Denny.

Denny memandang publik Indonesia harus berani membongkar lebih jauh dan membahas ekonomi-politik pribumi itu secara dingin, rasional, dan ilmiah. Hal ini lebih baik daripada masalah tersebut dipendam.

"Apa yang harus dilakukan? Inilah pertanyaan penting. Memilih tidak membicarakan soal ekonomi politik 'kaum pribumi' demi sopan santun politik, sementara ada kegelisahan yang riil di bawah permukaan, itu bukan pilihan cerdas," imbuhnya.

Percakapan publik yang hangat dan ilmiah dalam membahas kata 'pribumi', dipandang Denny, dapat dilakukan dalam 3 hal. Pertama, tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga dengan etnis dan agama apa pun. Semua warga negara memiliki hak dan perlindungan hukum yang sama.

"Kedua, tak boleh ada kekerasan di ruang publik. Aparat hukum harus berani dan tegas untuk menindak aneka kekerasan fisik ataupun ujaran kebencian. Ketiga, ketimpangan ekonomi yang tajam, apalagi jika bertumpang-tindih dengan identitas etnik atau agama, di seluruh dunia, akan menjadi bara api sebuah negara," paparnya.

"Hikmah kontroversi soal pidato Gubernur DKI Anies Baswedan mungkin menjadi picu untuk percakapan di ruang publik secara dingin mencari solusi bersama. Saatnya ruang publik kita diisi oleh percakapan visioner, dengan riset, data, argumen, dan studi komparatif," pungkasnya. [dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita