www.gelora.co - Syaikh Nabil Al Awadhy datang ke perbatasan Myanmar untuk menyalurkan bantuan dari Lembaga Amal Qatar dan Kuwait kepada Muslim Rohingya. Namun, ia tak kuasa menahan air mata setelah melihat kondisi para pengungsi dan mendengar cerita mereka. Terutama saat seorang pemuda menceritakan apa yang dilakukan para tentara Myanmar kepada saudarinya.
“Mereka mencabik kehormatan adiknya di depan matanya sendiri,” kata para pengungsi mewakili pemuda yang tak sanggup melanjutkan ceritanya itu. Air mata terus meleleh membasahi pipinya. Tampak ia menerawang jauh, seperti trauma mengenang saat-saat mencekam itu.
“Dan sampai sekarang ia tidak tahu di mana adiknya berada. Para tentara itu membawanya.”
Pria lainnya, sembari menangis ia bercerita telah kehilangan lima anak dan tak tahu keadaan mereka sekarang.
“Kami dulunya tinggal di kampung kami sendiri lalu tiba-tiba orang-orang Myanmar bersenjata datang mengagetkan kami. Lalu kami lari untuk menyelamatkan diri, tak tahu entah ke mana dan akhirnya menemukan jalan ke tempat ini. Semua orang lari begitu juga saya,” tuturnya.
“Anakku yang tertua 18 tahun, kemudian 16 tahun, anak berikutnya 14 tahun, 12 tahun dan 10 tahun. Kami terpisah,” lanjut pria yang menempuh jalur laut untuk sampai ke tempat pengungsian tersebut.
Pria lainnya sudah cukup tua. Usianya 60 tahun. Saudara dan saudarinya dibunuh oleh teroris Myanmar. Ia mengungsi bersama 21 keluarganya menyusuri bukit. Ia sendiri merasakan kekejaman orang-orang Myanmar hingga tangannya terpotong.
Berikut ini videonya:
[tby]