www.gelora.co - Pemutaran kembali film G30S/PKI terus menuai pro-kontra. Meski begitu, ada yang berharap film lawas ini bisa ditayangkan kembali di televisi. Sayangnya, sampai sekarang belum ada satu pun televisi nasional maupun televisi swasta yang berniat menayangkan film lawas tersebut.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis mengatakan, pihaknya turut mengikuti polemik pemutaran kembali film G30S/PKI. Namun, pihaknya belum bisa mengeluarkan rekomendasi atau pernyataan terkait boleh atau tidaknya film tersebut ditayangkan di televisi. kata dia, KPI dalam hal ini bersifat pasif, yaitu baru akan mengeluarkan pernyataan atau tindakan jika sudah menerima laporan masyarakat.
Nah, sampai saat ini belum ada satu pun pihak yang melapor atau meminta KPI menolak film tersebut diputar di televisi. Begitu juga sebaliknya, belum ada televisi yang berkonsultasi atau berencana memutar film tersebut. Biasanya, kata dia, untuk film-film yang dianggap kontroversi, pihak televisi lebih dulu berkonsultasi dengan KPI sebelum ditayangkan.
Yuliandre mengatakan, pada dasarnya KPI membolehkan berbagai film diputar di televisi selama tidak melanggar etika penyiaran. Apalagi tayangan untuk kebaikan, tentu tidak masalah. "Selama tidak melanggar aturan yang ada dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program penyiaran maka boleh saja diputar," kata Yuliandre, saat dikontak tadi malam.
Apakah film G30S/PKI dianggap melanggar aturan? Dia bilang, KPI tak bisa menilai objek, hanya konten atau isi dari film tersebut. Misalnya, ada tayangan yang memperlihatkan kekejaman dan kesadisan. Untuk menilai itu pun KPI baru bisa merespons ketika film tersebut sudah tayang di tv dan menerima aduan masyarakat. Disinggung terkait kelaikan tontonan untuk anak-anak, Yuliandre mengatakan selama ini KPI memiliki jam tayang dan kode untuk anak-anak.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai film G30S/PKI tidak layak dipertontonkan kepada anak-anak. Karena memuat adegan-adegan sadis dan penuh kekerasan. Salah satunya saat para perwira militer diculik dari rumahnya. Retno mengatakan, adegan kekerasan baik fisik maupun verbal, apalagi adegan pembunuhan, akan menimbulkan trauma buruk pada anak-anak. Hal ini membahayakan kondisi psikologis. Selain itu, dalam film tersebut banyak diksi yang juga mengandung kekerasan. Menurut Retno, masih banyak film sejarah yang lebih mendidik dan layak disaksikan anak-anak. Film sejarah sejatinya membangkitkan rasa nasionalisme dan menstimulus cara berpikir kritis pada anak-anak.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kembali mengingatkan jajarannya untuk nobar film G30S/PKI. Tujuannya untuk mencegah munculnya gerakan serupa. "Sayalah yang memerintahkan jajaran dan mengimbau kepada masyarakat, untuk memutar film tersebut," kata Gatot, seusai berziarah ke Makam Soeharto di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, kemarin.
Gatot mengatakan, pemutaran film G30S/PKI agar kekejaman komunis bisa diketahui masyarakat luas. Dia tidak sependapat jika pemutaran film itu dianggap untuk mendiskreditkan pihak tertentu. "Jangan sampai peristiwa atau tragedi mengerikan itu kembali terulang pada saat ini. Kalau tidak diingatkan, orang akan lupa, tidak tahu bahwa ada gerakan-gerakan seperti itu," ungkapnya.
Menurut Gatot, sejarah memungkinkan akan berulang kembali. Dia mencontohkan bagaimana gerakan komunis muncul dua kali pasca-kemerdekaan, yakni PKI di Madiun pada 1948 dan berulang pada 1965. Gatot pun setuju dengan usulan Presiden Jokowi yang ingin film ini dibuat ulang agar bisa dinikmati oleh remaja sekarang. "Itu suatu ide yang luar biasa. Agar bisa dinikmati, film harus disesuaikan dengan kondisi zaman sekarang. Namun tentunya harus mengacu pada sejarah yang ada," ungkapnya.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mempersilakan pemerintah memperbarui film G30S/PKI untuk mempermudah generasi milenial dalam memahami pesan yang disampaikan. Menurut dia, dengan menonton film terkait peristiwa yang lalu melatarbelakangi peringatan hari Kesaktian Pancasila itu, masyarakat dapat mengambil pelajaran dari peristiwa kelam tersebut. "Melalui film tersebut semua bisa dipelajari," kata Zulkifli.
Sementara, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan lembaganya mendukung upaya revisi film Pengkhianatan G30S/PKI. Menurutnya, itu akan membuka peluang terjadinya perdebatan yang sekaligus bisa meredam konflik akibat perbedaan persepsi sejarah 65 di masyarakat. "Nanti para sejarawan itu analisa, oh ini adegan di Lubang Buaya tidak benar. Berdebatlah jangan berantem," kata Fahri mencontohkan.
Menkumham Yasonna Laoly mengatakan, sah-sah saja jika ada masyarakat ikut menonton. Menurut dia, masyarakat sudah dewasa melihat sejarah dan fakta-fakta yang ada. Soal kesesuaian film dengan fakta sejarah, Laoly merasa bukan orang yang kompeten. Menurut dia, ahli sejarah yang lebih tepat untuk membahasnya. Hanya saja, Laoly heran dengan isu kebangkitan PKI yang kemudian dimunculkan lagi. Padahal, PKI sudah dilarang pemerintah. "Isu PKI itu kan mimpi di siang bolong. Itu untuk apa dibangkit-bangkitkan hantu yang sudah mati? Lihat saja di dunia ini. Mana ada lagi yang dikatakan PKI?" kata Laoly, kemarin.
Di sisi lain juga ada pihak yang berniat menggelar diskusi soal peristiwa G30S. Menurut dia, itu sekadar mengeksploitasi isu. "Jangan dibuat menjadi permainan politik. Rakyat sudah capeklah. Mari bekerja yang lebih positif. Banyak tugas-tugas yang lebih baik daripada menebar isu," tutur Laoly. [rmol]