Seret Biksu dan Militer Myanmar ke Mahkamah Internasional!

Seret Biksu dan Militer Myanmar ke Mahkamah Internasional!

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Tragedi kemanusiaan Rohingya makin mengkhawatirkan setelah ribuan warga muslim di Myanmar itu mengungsi ke Bangladesh. Pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan ratusan korban jiwa.

Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis mengatakan pemerintah Indonesia harus menginvestigasi pembantaian sistematis terkait genosida yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap muslim Rohingya, termsuk adanya laporan pemerkosaan wanita Rohingya yang sedang hamil dan membiarkan 80 ribu lebih anak-anak menderita kelaparan.

"Krisis ini aib bagi para tokoh dan negara-negara ASEAN, saya minta seret semua pembantai Muslim Rohingya, Biksu maupun militer ke Mahkamah Internasional. Hentikan pembunuhan dan pembantaian keji itu," tegas Kharis melalui keterangan tertulis kepada redaksi, Jumat (9/1).

Kharis menambahkan yang lebih memprihatinkan melihat respon dari negara-negara tetangga, termasuk negara-negara ASEAN maupun negara-negara mayoritas Muslim lambat.

"Negara ASEAN malah seperti sedang melakukan “pingpong maritim” dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan didorong ke negara lain. Kita mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu para pengungsi ke pantai. Begitupula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespon peristiwa ini dengan cepat. Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini," terang Kharis.

Para “manusia perahu” Rohingya ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, sejak meletusnya konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan. Menurut laporan dari Human Rights Watch, aparat pemerintah Myanmar yang seharusnya memulihkan keadaan justru ikut terlibat dalam konflik tersebut.

Persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya. Akan tetapi, pada tahun 1982 rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. 

Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras. Hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang ambing tanpa nasib yang jelas di laut, kita seharusnya dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar. Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine. Konflik yang sebelum ini bersifat ‘vertikal’ antara negara/rezim militer versus masyarakat berubah menjadi konflik ‘horizontal’ antara masyarakat Muslim Rohingya versus masyarakat Buddha Rakhine yang lebih kompleks.

Kharis pun mempertanyakan kenapa Aung San Suu Kyi, sang peraih Nobel Perdamaian, diam? Apakah beliau takut kehilangan banyak suara dalam Pemilihan Umum atau sesungguhnya kelompok “pro-demokrasi” Myanmar pun punya kecenderungan rasis?

"Kita harus mengetuk hati Negara-negara dunia, karena telah terbuka krisis memperlihatkan rombongan manusia yang kurus kering dan penuh luka berdempetan di kapal-kapal yang dapat karam sewaktu-waktu. Rombongan pengungsi Rohingya tidak boleh diidentifikasi sebagai beban dan ancaman," jelas Anggota Fraksi PKS DPR RI ini.

Indonesia kata Kharis perlu mendorong gagasan tentang pendirian sebuah institusi atau mekanisme pendanaan global untuk pengungsi Rohingya. Namun, hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk menyelesaikan akar dari krisis Rohingya ini, yaitu eksklusi dan diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar.

Karena itu, dalam jangka menengah dan panjang, termasuk negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia, harus memulai upaya diplomasi untuk mengakhiri persekusi terhadap komunitas Rohingya di Myanmar. Harus ada upaya diplomatis untuk membuat pemerintah Myanmar merasa bahwa keuntungan melanjutkan persekusi jauh lebih kecil dari biaya yang harus ditanggung oleh pemerintahnya jika terus melanjutkannya. 

"Tentu saja, hal ini merupakan ujian bagi ASEAN yang terkenal dengan norma “non-interference”-nya. Stop segera kejahatan kemanusiaan, apa gunanya ASEAN bersatu kalau tidak mampu melindungi manusia-manusia yang ada di dalamnya?," demikian Kharis.[rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita