Asyari Usman |
www.gelora.co - Alhamdulillah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan dukungannya terhadap imbauan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada rakyat agar tidak melupakan sejarah kelam bangsa dan negara yang terjadi di tahun 1965. Presiden ikut nonton bareng (nobar) film G30S/PKI di markas Korem Bogor.
Di mana-mana rakyat menghadiri nobar film Pengkhianatan G30S/PKI, baik yang diprakarsai oleh jajaran TNI maupun yang dilaksanakan oleh warga masyarakat secara swadaya.
Imbauan Jenderal Gatot sungguh sangat tepat. Meskipun sudah lebih setengah abad yang lalu peristiwa itu terjadi, setelah menonton film G30S/PKI itu melalui TVOne (satu-satu stasiun televisi yang bisa memahami bahaya komunisme-PKI), terasa peristiwa pemberontakan PKI yang dipimpin Letkol Untung itu belum begitu lama terjadi. Kepedihan yang dialami keluarga para jenderal yang dibunuh secara biadab oleh PKI, masih terasa sangat memilukan hati.
Sungguh tidak bisa dimengerti mengapa politisi PDIP, Ibu Eva Sundari, mengatakan bahwa ajakan nobar dari Jenderal Gatot dikatakannya bisa memecah belah TNI. Alhamdulillah, tidak ada sedikit pun pertanda perpecahan di tubuh TNI seperti yang dikatakan oleh Bu Eva. Sehingga, banyak orang yang malah balik merasakan bahwa pernyataan Bu Eva itu seolah-olah merefleksikan keinginan beliau agar TNI menjadi pecah. Tetapi, kita tetap berbaik duga bahwa Bu Eva tidak seperti itu.
Masyarakat menunjukkan antusias mereka. Di segenap penjuru negeri. Di mana ada “layar tancap” nobar, di situ warga datang berbondong-bondong. Sekali lagi kita bersyukur bahwa rakyat selalu menginginkan agar kisah kekejaman PKI diceritakan kepada generasi penerus dengan tujuan agar tindakan yang terkutuk itu cukuplah sekali saja terjadi.
Kita semua ingin menyatakan bahwa sejarah yang diceritakan oleh film G30S/PKI itu, membuat seluruh rakyat tidak nyaman. Kita sangat prihatin bahwa Bapak Bangsa, Presiden Soekarno, terimplikasikan secara negatif oleh pengkhianatan PKI. Banyak orang yang merasa tak enak terhadap fakta sejarah ini. Kita semua juga ikut tidak enak.
Setelah menonton film G30S/PKI, sangat wajar untuk kita ceritakan kepada generasi penerus tentang kelicikan PKI dalam melancarkan pemberontakan. Tentang kekejaman mereka. Tentang kesadisan mereka. Kita juga pantas menceritakan tentang kecepatan, kecekatan, dan ketangkasan TNI dalam menumpas PKI.
Inilah yang dimaksudkan oleh Jenderal Gatot ketika beliau mengajak pajurit TNI dan rakyat untuk membaca kembali sejarah kekejaman dan kekejian komunisme-PKI dengan menonton film Pengkhianatan G30S. Kita berharap agar saudara-saudara sebangsa yang keliru melihat ajakan Panglima itu, bisa memahami niat baik beliau.
Silang pendapat tentang film G30S/PKI, dan tentang ajakan menonton sejarah hitam ini, bisa menyulut sejuta “fakta” dan “perasaan”.
Fakta bahwa kita beruntung memiliki Panglima TNI yang mau menyadarkan rakyat meskipun beliau kemudian dicela sana-sini.
Perasaan bahwa kekejaman PKI di tahun 1965 itu, belum lama terjadi. Fakta bahwa akhir-akhir ini ada sekian banyak orang yang masih menginginkan kebangkitan komunisme. Perasaan bahwa suasana yang berlangsung di tahun 1965 itu, seolah-olah sedang hadir di tengah rakyat sekarang ini.
Fakta bahwa sisa-sisa PKI dan para ahli waris mereka berusaha keras untuk menghapuskan sejarah tentang kekejian mereka. Fakta bahwa kelompok-kelompok swadaya (LSM) selalu siap mendukung para pejuang pro-PKI yang ingin membersihkan nama mereka dan kemudian bangkit kembali di ranah politik Indonesia.
Perasaan dan sekaligus fakta bahwa kebijakan yang berjalan saat ini di Tanah Air memberikan “goodwill gesture” (isyarat niat baik) kepada komunisme-PKI.
Tak habis-habisnya perasaan dan fakta yang mengalir setelah menyaksikan film G30S/PKI malam tadi. Perasaan dan fakta biasanya beridiri berdampingan.
Dalam pengalaman hidup kita, tidak sedikit perasaan berubah menjadi fakta. Sedangkan fakta tak akan pernah beranjak dari tempatnya [tsc]
Oleh Asyari Usman