Sebut Krisis Rohingya Dimanfaatkan untuk Nyerang Jokowi, Tito Dinilai Lempar Bola Panas

Sebut Krisis Rohingya Dimanfaatkan untuk Nyerang Jokowi, Tito Dinilai Lempar Bola Panas

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut, krisis yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar banyak dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyerang Presiden Jokowi. Menurut Tito, kesimpulan itu didapat dari hasil analisis di Twitter. Menanggapi ini, sejumlah pengamat bilang, Tito seperti melempar bola panas.

Tito mengatakan, cara-cara yang dilakukan kelompok tersebut pernah digunakan dalam Pilkada Serentak 2017 untuk menyerang salah satu pasangan calon dan pemerintah. "Sekarang ada isu baru yang kira-kira bisa dipakai untuk digoreng-goreng. Ini penelitian ini dari software Opinion Analysist," ungkapnya.

Munculnya sentimen keagamaan, menurut Tito, justru menjauhkan isu Rohingya dari masalah kemanusiaan. Dia menuturkan, komentar sejumlah pengguna media sosial yang mengajak umat Islam antipati terhadap pemerintahan pun lebih banyak dibandingkan ajakan memberi bantuan kemanusiaan buat etnis Rohingya. "Isu di Twitter lebih banyak mengajak kelompok umat Islam lain berantipati pada pemerintah dan Presiden," ujar jenderal polisi bintang empat itu.

Istana pun merasakan hal yang sama. Seskab Pramono Anung mengatakan, sebelum persoalan Rohingya menjadi konsumsi publik seperti sekarang ini, Jokowi sudah lebih dulu mengirim bantuan seperti membangun sekolah dan mengirim obat-obatan. Politikus PDIP itu mengklaim, bantuan yang bersifat kemanusiaan yang dikirimkan Indonesia itu lebih besar dibandingkan dengan negara mana pun.

Pramono juga menyebut Presiden sudah mengutus Menlu Retno Marsudi untuk menemui Aung San Suu Kyi untuk membahas masalah ini. Retno ada satu-satunya pejabat dari luar yang diterima di Myanmar. Dan, kata dia, Sekjen PBB dan utusan khusus PBB mengakui peran Indonesia. "Tapi kalau kemudian dalam negeri domestik ini dirumorkan digoreng, ya ini hal yang berkaitan dengan politik, kita harus bisa memisahkan domain politik dengan domain yang terjadi sebenarnya," kata Pramono.

Salah satu pengkritik pemerintah soal ini adalah Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Di Twitter, beberapa hari lalu, politisi Gerindra ini mencuit begini: "Rezim ini kelihatan tak mendukung masyarakat #rohingya yang jadi korban pengusiran n pembantaian. Apakah karena kebetulan mereka muslim?" tulisnya di akun @fadlizon. Gara-gara cuitan ini, banyak warganet mengkritik Fadli Zon dan menuduhnya mempolitisasi agama.

Di dunia nyata, Fadli juga mengkritik dengan menyebut pemerintah belum menunjukkan taji sebagai pemimpin ASEAN. "Bantuan-bantuan juga masih relatif masih normatif belum menunjukan gestur sebagai negara besar di kawasan Asia Tenggara termasuk juga negara muslim terbesar," ujar politikus Gerindra ini.

Jubir Presiden Johan Budi SP mengaku heran dengan tuduhan yang disampaikan Fadli. "Itu mengukurnya dari mana (bisa bilang tidak melakukan apa-apa)," kata Johan. Dia mencontohkan langkah diplomasi penting yang dilakukan pemerintah RI, yaitu kunjungan Menlu Retno Marsudi ke Myamnar untuk bertemu Pemimpin Au San Suu Kyi dan Panglima Militer Myanmar. Di sisi lain, arus bantuan untuk Rohingya juga terus mengalir. Indonesia bekerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat mengumpulkan bantuan untuk kemudian disalurkan ke Rohingya. "Itu konkret yang dilakukan. Jadi, bagaimana dituduh tidak melakukan apa-apa," ucap Johan.

Pengamat Hukum Internasional dari UI Prof Hikmahanto Juwana mengakui, saat ini berkembang di Indonesia seolah masalah yang terjadi pada etnis Rohingya sebagai masalah antar agama. Padahal tidak. Masalah muncul karena tak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga Myanmar selama berpuluh-puluh tahun. Masalah lain adalah adanya pembiaran dari Myanmar atas perlakuan tidak manusiawi aparat keamanan terhadap etnis Rohingya sehingga terjadi eksodus besar-besaran.

Masalah yang terjadi di Myanmar bukan juga masalah bilateral antara Indonesia dan Myanmar. Selama ini hubungan antar kedua negara baik-baik saja dan tidak ada benturan apapun. "Karena itu, mengusir Dubes Myanmar di Jakarta atau memanggil pulang Dubes Indonesia di Myanmar bukan suatu tindakan yang tepat," kata Hikmahanto, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dia pun berharap, masalah ini tak seharusnya menjadi amunisi untuk mendelegitimasi pemerintahan Jokowi-JK. Soalnya, Pemerintahan sudah sangat maksimal bila dibandingkan sejumlah negara tetangga yang sejak awal menyatakan tak akan menerima pengungsi asal etnis Rohingya. Pengamat politik dari Unpar Bandung Prof Asep Warlan Yusuf punya analisa berbeda. Menurut dia, pernyataan Kapolri ini sama seperti melempar bola panas. Karena itu berarti, orang-orang yang mengkritik pemerintah bisa diartikan menyerang Jokowi. "Saya pikir kecewaan publik dalam hal ini masih wajar," jelas Prof Warlan.

Daripada sibuk membantah dan menuding yang tidak-tidak, lanjut Prof Warlan, lebih baik pemerintah bekerja lebih keras untuk membuktikan diri tak seperti yang dituduhkan. "Menuding ada kelompok yang memanfaatkan isu Rohingya untuk menjatuhkan Jokowi justru memperkeruh suasana dan kontra produktif," tegasnya. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita