www.gelora.co - Momen hari tani nasional, 24 September mendatang harus dimanfaatkan untuk membuat UU yang mendorong terwujudnya reforma agraria seperti yang dicita-citakan oleh UUPA 5/1960.
Begitu dikatakan Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) Ahmad Rifai dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Sabtu (23/9).
"UU ini merupakan manifestasi dari UUPA 5/1960 yang disesuaikan dengan kondisi agraria saat ini,” sambungnya.
Menurut Rifai, UU yang ada saat ini menghambat pelaksanaan reforma agraria. Pasalnya, peraturan tersebut tidak membatasi kepemilikan korporasi dan individu dalam menguasai tanah.
Bahkan, lanjutnya, selama ini negara terkesan melindungi korporasi dan individu tertentu untuk menguasai tanah di Indonesia. Sehingga petani semakin tersingkirkan dari tanahnya sendiri.
"Negara malah melindungi korporasi dan orang-orang kaya dalam menguasai tanah, sehingga petani harus menjadi korban,” ujar Rifai.
Bagi dia, lahirnya UU baru ini untuk menjamin bahwa tanah digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal itu dapat dilakukan dengan membatasi korporasi dan individu dalam kepemilikan tanah.
Selain itu, tambahnya, harus ada juga peraturan yang membatasi ekspolitasi terhadap kekayaan alam bawah tanah.
"Eksploitasi sumber daya alam saat ini menjadi penyebab utama terjadinya konflik agraria yang melibatkan korporasi dan petani,” kata Rifai.
Ia juga menekankan pentingnya kedaulatan pangan nasional, yakni dengan melibatkan rakyat dalam menentukan kebijakan pangan.
"Harus dibentuk Dewan Tani yang terdiri dari Dewan Kedaulatan Pangan, Dewan Penetapan Harga Pangan, dan lembaga-lembaga agraria lainnya,” tutupnya. [rmol]