Oleh: Ronggo Astungkoro, wartawan Republika
Saracen. Istilah yang langsung populer pascapenangkapan sekelompok orang yang diketahui memiliki bisnis jasa menyebarkan kebencian dan berita hoaks di media sosial. Pengamat geopolitik dari Global Future Institute, Hendrajit, menilai, ada pola perang asimetris pada penggiringan isu pada kasus Saracen. Ia mencium ada upaya mendiskreditkan umat Islam melalui penangkapan kelompok Saracen tersebut.
Menurut pengarang buku Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru itu, perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nonmiliter. Namun, daya hancurnya tidak kalah, atau bahkan dampaknya lebih dahsyat, daripada perang militer.
"Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan, yaitu geografis, demografis, sumber daya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan," kata Hendrajit menerangkan kepada Republika.co.id, Senin (4/9).
Dalam perang asimetris itu terdapat suatu pola, di mana kita bisa mengetahui apakah itu perang asimetris atau bukan. Hendrajit mengemukakan, jika dilihat dari polanya, ada tiga tahapan dalam perang asimetris.
Pertama, menebar sebuah isu. Setelah berhasil, ditingkatkan menjadi sebuah tema atau agenda. Jika berhasil lagi, barulah skema yang sebetulnya keluar.
Baca Juga:
Ia memberi contoh, ditebarlah sebuah isu yang mengatakan harga cabai meroket. Isu itu ditebar untuk mengecek reaksi masyarakat terlebih dahulu. Begitu masyarakat resah, ditingkatkan ke tema atau agenda.
Dalam penyebaran informasi itu disebut, Indonesia mengalami kelangkaan ketersediaan cabai. Barulah setelah masyarakat menerima informasi kelangkaan cabai itu, skema aslinya dimunculkan.
"'Yah gimana dong, kalau gini kita harus impor'. Gitu kan. Ujung-ujungnya kelihatan tujuannya itu mengimpor. Barulah perusahaan asing masuk, menjajah ekonomi kita di bidang pertanian. Nah, itu contohnya," kata Hendrajit menjabarkan.
Pada kasus Saracen ini, menurut dia, maunya memang menuju ke sana. Dalam artian, penggiringan isu, Islam ini punya niat yang tidak bagus, ingin makar, ingin membangun kebencian, atau intinya yang antipemerintah itu adalah Islam.
"Cuma, dalam prakteknya sebagai operasi intelijen, banyak juga yang mengatakan itu menandakan kalau rencananya tidak matang. Justru menelanjangi dirinya sendiri," jelas dia.
Direktur Global Future Institute ini menyebutkan, dalam operasi intelijen, jangan sampai orang mengetahui kalau hal yang direkayasa itu merupakan hasil rekayasa. Kalau masyarakat atau orang sudah menduga hal itu rekayasa, maka rencana tersebut telah gagal.
"Padahal, dalam operasi intelijen, harus membikin kesan yang logis itu tak masuk akal. Operasi intelijen itu abu-abu. Tapi, Saracen ini terlalu jelas dan terlalu ilmiah lah karena kelihatan untuk mencemarkan Islam," terang Hendrajit.
Jika rencana Saracen ini gagal, ia berani bertaruh pasti Saracen yang baru sedang disiapkan. Bisa jadi, kelompok tersebut lebih canggih atau mungkin lebih konyol daripada itu.
"Paling tidak, pasti ada langkah-langkah lain yang disiapkan. Itu yang harus dicermati. Buka mata dan telinga. Saracen, grand design-nya memang salah satu tahapan dari perang asimetris maunya. Tapi, eksekusinya yang amburadul," kata dia.
Proxy War Berperang dengan Menggunakan Pihak Ketiga
Perang asimeteris sepertinya memang menjadi gaya baru dalam era sekarang. Seperti diungkapkan pengamat pertahanan, Yono Reksodiprojo.
Ia menyebut, perang proxy begitu nyata di dunia. "Tendensi perang saat ini harus singkat, terselubung, dan melumpuhkan," ujar Yono dalam diksusi 'Menangkis Ancaman Proxy War' di Jakarta. (Republika, Ahad 20 Desember 2015).
Yono menjelaskan, dunia saat ini telah memasuki empat tahap dalam perang. Tahapan pertama perang berbaris, kedua perang dengan kekuatan masif, perang ketiga mulai menyentuh telekomunikasi sebagai senjata, dan di generasi keempat memasuki perang asimetris.
"Perang asimetris tidak menunjukkan secara pasti siapa korban, siapa penyerang, dan siapa yang diserang," kata dia.
Perang asimetris, kata dia menjelaskan, lebih pada nonkekerasan. Dalam konteks perang asimetris, perang proxy menjadi ancaman yang paling dekat. Dengan perang proxy, pihak yang bertikai tidak secara langsung beradu, tapi menggunakan pihak ketiga atau perantara.
Ikut berperannya Amerika Serikat secara tidak langsung dalam perang saudara di Suriah melalui aktor proxy, seperti Alqaidah dan ISIS, menjadi contoh nyata. Sebagai proxy terkadang dengan sadar sedang digunakan, tapi ada pula yang tanpa sadar bahwa dia proxy dalam sesuatu.
Menurut Yono, perang proxy saat ini merupakan perang teknologi. Internet merupakan senjata berperang dalam masa modern yang tanpa sadar orang-orang menggunakannya.
"Jaringan internet itu sebuah jaringan yang dibuat oleh Kementerian Pertahanan Amerika Serikat," ujarnya.
Lebih jauh ia berujar soal perang proxy. Dalam masa Perang Dingin, Amerika menciptakan internet sebagai strategi perang untuk melawan Uni Soviet. Hanya, semenjak itu internet makin berkembang, termasuk dibawa ke Indonesia untuk dimanfaatkan dalam berkomunikasi.
Semakin sering internet digunakan dalam berkomunikasi, peperangan modern sedang berlangsung tanpa diketahui. Perang informasi menjadi perang asimetri yang berada di depan mata untuk dihadapi masyarakat. "Mereka tenang-tenang aja, nggak kerasa, padahal kita sedang tembak-tembakan dalam intenet," kata pengajar Universitas Pertahanan Indonesia.
Lalu bagaimana agar Indonesia bisa terhindar dari korban proxy dalam perang modern. Yono berpendapat peran jurnalistik menjadi penting. Bentuk pertahanan dari aparat kemananan bukan lagi yang terpenting.
Pasar Gelap Dunia Hoaks
Pascaberakhirnya Perang Dunia II (1939-1945), kepopuleran perang konvensional yang mengerahkan kekuatan militer secara terbuka, bisa dikatakan meredup. Apalagi setelah Perang Dingin yang menandai runtuhnya Uni Soviet berkat Amerika Serikat.
Dalam perang nirmiliter, muncul perang model baru. Yakni proxy war (perang bonek), hybrid war (perang kombinasi), currency wars (perang mata uang), dan yang sekarang sedang terjadi adalah asymmetric warfare (perang asimetris).
Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Teknis Pertahanan dan Keamanan mengadakan loka karya berjudul, Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (Asymetric Warfare), di Jakarta pada 2008. DRN menyatakan perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Pengamat komunikasi dari UI, Irwansyah menyatakan, undang-undang saat ini tidak memiliki semangat Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang hasil amandemen lebih banyak memenuhi permintaan pihak luar.
Undang-undang saat ini dinilai lebih menguntungkan dan mengikuti kemauan dari internasional. Regulasi tidak lagi mendukung kebutuhan dari bangsa Indonesia. "Padahal, semangatnya harus punya regulasi dari bangsa sendiri," ujar Irwansyah.
Keberpihakan regulasi pada internasional menjadi proxy bagi kedaulatan bangsa Indonesia. Intervensi dalam bentuk koorporasi secara bersama-sama mengubah kesepakatan regulasi untuk bangsa menjadi pemenuh kebutuhan internasional.
"Banyak yang nasional dinomorduakan karena mengikuti ratifikasi, contoh kita mengikuti MEA," kata pengajar di Universitas Indonesia itu.
Menurutnya, masyarakat Indonesia terlihat belum siap menghadapi MEA karena masih terkendala bahasa. Hanya karena tuntutan internasional, Indonesia memutuskan ikut bergabung tanpa melihat kebutuhan masyarakat dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Kembali ke soal Saracen, pengamat politik Denny JA memiliki gambaran menarik. Ia merawikan, pada 11 September 2001, sebuah pesawat merontokkan gedung kembar yang berdiri angkuh di Amerika Serikat. Gedung bernama World Trade Center (WTC) di New York itu luluhlantak ditabrak sebuah pesawat yang diduga keras dilakukan jaringan Alqaidah. Peristiwa itu populer dengan sebutan 911.
Dalam kasus itu 2.996 warga tewas, dan dan lebih dari 6.000 orang luka. Total kerugian ditaksir mencapai Rp 130 triliun. "Hingga hari ini, terjadi kesepakatan bahwa Alqaidah berada di belakang aksi teroris yang mungkin paling spektakuler sepanjang sejarah. Segera muncul citra di publik luas, Alqaidah musuh besar Amerika Serikat," sebut Denny JA.
Namun, kata dia, publik tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dalam pasar gelap politik. "Kini pelan-pelan kita terbuka mata. Tak kurang dari Hillary Clinton sendiri yang berpidato resmi dan disiarkan luas di CNN. Kita pun tetap bisa menonton cuplikan pidato Hillary itu di Youtube."
Ujar Hillary, "Kita (Amerika) yang 20 tahun lalu ikut melahirkan Alqaidah. Kita rekriut, latih, dan berikan logistik untuk kepentingan geopolitik Amerika di Timur Tengah melawan Uni Soviet."
Yang terjadi kemudian Alqaidah membesar dan karena satu hal (tak kita tahu semuanya), berbalik melawan tuan yang ikut melahirkannya (Amerika Serikat). Wow!!! Ternyata dalam politik bisa seperti itu. Apa yang terjadi di panggung terbuka bisa berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi, yang terselenggara dalam pasar gelap politik.
Masih kata Denny, Kita bisa tengok kasus lain lagi. Sebuah true story yang sudah difilmkan: American Made (2017), dibintangi Tom Cruise yang memerankan seorang pilot bernama Barry Seal.
Betapa senangnya raja obat terlarang Pablo Escobar di medio 1980-an dengan Barry Seal. Pilot ini bisa dengan cerdas membantunya membawa ratusan kilo obat terlarang ke Amerika Serikat. Obat itu dari pesawat kecil dijatuhkan ke satu wilayah. Kolega bisnis Escobar sudah menanti kirim rejeki yang jatuh dari pesawat.
Bisnis lancar. Begitu banyak dana didapatkan. Dari Barry Seal, Escobar dan kelompoknya bahkan bisa mendapatkan banyak senjata untuk gerilya.
Dalam pasar gelap politik, bahkan itu tak disadari pemain sekaliber Pablo Escobar sekalipun. Ternyata Barry Seal adalah agen CIA yang disusupkan untuk memperoleh bukti dokumen, foto dan sebagainya yang ujungnya menjerat Pablo sendiri.
Karena itulah kita memuji dan mendorong polisi harus mengungkap hingga detail siapa saja yang pernah memesan jasa the so called "Saracen" ini. Mereka yang menggunakan politik identitas dengan melanggar hukum (hate speech, kriminal) haruslah dihukum yang setimpal. Itu tak hanya melanggar hukum tapi merusak kesatuan bangsa.
Namun harus juga disadari berpolitik atas dasar keyakian agama itu dibolehkan konstitusi UUD 45, prinsip HAM dan praktek demokrasi modern. Pemerintah dan warga harus pintar-pintar membedakan mana isu politik identitas yang boleh dan yang dilarang.
Perbedaannya kadang membingungkan bagi yang tak terlatih dalam discourse pemikiran yang detail. Semoga terbongkarnya kasus Saracen tak hanya meneguhkan kita sebagai satu negara. Dan juga semakin membuat kita paham bahwa ternyata dalam politik tingkat tinggi ada pula pasar gelap.
[rol]