www.gelora.co - Presiden RI Joko Widodo, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol. Budi Gunawan (BG), Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian, Kapolda Sumatera Utara (eks Kapolda Papua) Irjen Pol. Paulus Waterpauw dan pimpinan Bareskrim Polri didesak untuk mengklarifikasi adanya pertemuan "pengamanan politik" di kediaman Kepala BIN di Jakarta Selatan.
"Perlu (diklarifikasi). Ini perlu dijelaskan ke publik," ujar pengamat politik Ujang Komarudin saat dihubungi redaksi, Jumat (15/9).
Jelas Ujang yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, jika pertemuan tersebut benar, maka akan mengancam proses demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia selama ini.
Foto-foto pertemuan "pengamanan politik" itu sudah beredar. Kabar yang diterima redaksi, awalnya pertemuan pada Selasa (5/9) itu bersifat biasa hanya membahas berbagai isu nasional. Tapi ternyata ada agenda lebih jauh dari itu.
Kepala BIN Budi Gunawan, disebut meminta Lukas menandatangani sebuah kertas berisi 16 poin komitmen. Mulai dari kesetiaan pada NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan sampai pada komitmen "mengamankan" Joko Widodo dan PDI Perjuangan di Pemilu Serentak 2019.
Dari informasi yang beredar, Gubernur Lukas Enembe hanya menyatakan keberatan terhadap poin terakhir yaitu "mengamankan" Jokowi dan PDIP di Papua. Apalagi, dirinya adalah Ketua DPD Partai Demokrat di Papua. Namun, akhirnya Lukas bersedia menandatangani kertas yang disodorkan oleh Budi Gunawan.
Informasi yang diterima redaksi juga menyebutkan, kehadiran Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian dan Kapolda Sumatera Utara (eks Kapolda Papua) Irjen Pol. Paulus Waterpauw, menyusul di tengah pertemuan.
Setelah kedatangan mereka, Kepala BIN menyampaikan kepada Lukas Enembe bahwa Lukas berpasangan dengan Paulus Waterpauw pada Pilkada Papua 2018. Diklaim, perintah itu sesuai amanat Presiden Jokowi. Tak sampai di situ, sekitar 15 menit kemudian hadir pula pimpinan Bareskrim Mabes Polri dalam pertemuan. Lalu, Kapolri memerintahkan anak buahnya agar semua proses hukum yang sedang terjadi atas Lukas Enembe dihentikan.
"Ini yang kita takutkan. Hukum menjadi alat untuk menekan orang lain," kata Ujang saat mengetahui pemberitaan pertemuan "pengamanan politik" terebut.
Pengamat politik adal Universitas Al Azhar ini kembali mendesak agar nama-nama yang diduga terlibat dalam pertemuan tersebut segera mengklarifikasi soal info tersebut.
"Jika tidak klarifikasi, bisa jadi pertemuan tersebut benar," pungkas Ujang. [rmol]