www.gelora.co - "Datuk, Datuk, aku mau bertanya tentang angka-angka.”
Taufiq Ismail menjadikan pertanyaan kedua cucunya, Aidan dan Rania, sebagai bahan puisi. Tapi mereka tidak bertanya soal sembarang angka. Yang ditanyakan adalah angka kekejaman partai-partai komunis di duna.
“Begini Datuk. Katanya ada partai di dunia itu membantai 120 juta orang, selama 74 tahun di 75 negara,” demikian puisi itu berlanjut. Aidan dan Rania yang bertanya kepada Taufiq. Setiap hari, kata mereka lagi, partai itu membantai 4.500 orang selama 74 tahun di 75 negara.
Masih dalam puisinya, sang penyair besar Indonesia kemudian menjawab dengan penjelasan betapa partai komunis berusaha merebut kekuasaan dengan kerja paksa, sampai orang-orang berjatuhan nyawanya. “Mereka membantai bangsanya sendiri,” ujar Taufiq.
Ia membacakan puisi itu di tengan Simposium Nasional Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, pertengahan April lalu. Puisi itu membuat Taufiq, mengutip pemberitaan banyak media, disoraki sebagai ‘provokator’ dan diusir keluar ruangan oleh panitia simposium.
Namun menurut versi Taufiq, bukan itu yang terjadi. Pertama, ia datang ke simposium atas inisiatif sendiri lantaran ingin membacakan puisi di hadapan peserta simposium. Kesempatan untuk itu baru didapat Taufiq di hari ke-dua simposium.
“Orang-orang di sana kebanyakan ‘kiri.’ Mereka pada teriak, ‘Huuu.’ Mereka mengganggu saya waktu menyampaikan soal pembantaian itu. Pakai mikrofon saya balas teriak, ‘Huuu.’ Saya lanjutkan, diteriaki lagi. Saya diamkan, lalu saat sudah tenang saya teriak lagi, ‘Huuu.’ Ruangan penuh suara. Sambung menyambung begitu terus sampai selesai,” cerita Taufiq, saat berbincang dengan CNN Indonesia, beberapa waktu lalu.
Taufiq mengatakan, setelah itu ia duduk dan kelelahan. “Saya lalu permisi keluar dan salaman dengan ketua panitia. Saya pulang,” ia melanjutkan cerita.
Taufiq sendiri kaget saat berita yang muncul kemudian adalah dirinya diusir.
Penulis Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia itu tak memungkiri, banyak yang tidak suka lantaran dirinya anti-PKI. Apalagi mereka yang disebutnya golongan ‘kiri.’ Bahkan kawan-kawannya sendiri sesama seniman.”Tapi saya harus sabar. Ada dari teman-teman sendiri, tapi itu biasa,” katanya. Ketimbang dulu, era 1964 sampai 1966, kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’ nyaris saling bunuh.
Merunut Sejarah PKI
Taufiq tidak merasa malu atau minder. Sebab ia punya alasan kuat dan merasa yang disampaikannya adalah fakta yang tidak dibelokkan atau ditutup-tutupi.
Sikap anti-PKI Taufiq bermula saat ia membaca semacam buku ‘pedoman’ bagi internal PKI, yang digagas oleh Vadim Valentinovich Zagladin, politikus Soviet yang menulis World Communist Movement. Dalam buku itu, Taufiq bercerita, disebutkan ada 17 langkah bagi partai komunis untuk merebut kekuasaan. “Nomor satu sekali berdusta. Yang lain seperti memalsukan dokumen. Nomor 17, membunuh atau membantai,” ujarnya.
Taufiq pun merasakan tanda-tandanya. Partai-partai Islam dibubarkan, media dibreidel. Manifesto Kebudayaan di mana ia ikut tanda tangan, diperlakukan bak musuh negara. Taufiq pernah digagalkan menerima beasiswa ke Amerika dan dipecat lantaran terlibat Manifesto Kebudayaan itu.
Dirunut-runut ke belakang, Taufiq semakin mempelajari bahwa PKI sudah ingin merebut kekuasaan dengan cara kekerasan sejak lama, jauh sebelum peristiwa 1965.
PKI lewat salah satu petingginya, Musso, sudah pernah memproklamirkan Republik Soviet Indonesia di Madiun pada 1948. Taufiq bercerita, anggota PKI membantai umat Muslim di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Percobaan perebutan kekuasaan itu ternyata gagal.
Era 1965 kemudian dianggap cukup matang. Apalagi PKI sudah punya rencana yang digagas DN Aidit dan Njoto. Mereka menyusupkan anggota PKI ke tentara, Letkol. Untung. Ia kemudian disebut sebagai dalang upaya pembunuhan tujuh jenderal.
“Tapi di belakang itu sebenarnya PKI. Begitu mendengar itu, umat Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur marah, karena sebelumnya ada tragedi 1948. Penyembelihan kyai-kyai di kolam sekitar 6×7 meter itu teringat terus karena tidak pernah diadili,” ujar Taufiq menjelaskan.
Ketika 17 tahun kemudian PKI kembali ‘berulah,’ orang-orang Jawa Tengah dan Jawa Timur berpikir, lebih baik mereka membantai PKI lebih dahulu sebelum kembali dibantai PKI.
“Orang-orang PKI dijagal umat Islam, betul itu terjadi. Tapi itu tidak ujug-ujug. Peristiwa 1965 katanya harus masuk Mahkamah Internasional, melanggar HAM. Tapi peristiwa 1948 tidak pernah disebut,” tutur Taufiq lagi. Angka pembunuhan partai komunis di dunia yang disebut Taufiq dalam puisinya, termasuk beberapa kali pembantaian di Indonesia.
“Partai komunis dalam sejarahnya melakuan perebutan kekuasaan di 76 negara, berhasil di 28 negara. Di Indonesia tiga kali: 1926, 1948, dan 1965. Ketiganya gagal,” lanjutnya.
Belakangan, komunisme tidak lagi menjadi ideologi yang ‘laku.’ Uni Soviet pun bubar.
Tapi di Indonesia, Taufiq merasa ada komunis gaya baru. Kata Taufiq, mereka berjingkrak saat reformasi bergulir dan kembali menerbitkan buku-buku dengan ideologi lama yang dahulu dilarang. Taufiq pro-pemerintah yang menyita buku-buku itu belakangan.
Taufiq Ismail menjadikan pertanyaan kedua cucunya, Aidan dan Rania, sebagai bahan puisi. Tapi mereka tidak bertanya soal sembarang angka. Yang ditanyakan adalah angka kekejaman partai-partai komunis di duna.
“Begini Datuk. Katanya ada partai di dunia itu membantai 120 juta orang, selama 74 tahun di 75 negara,” demikian puisi itu berlanjut. Aidan dan Rania yang bertanya kepada Taufiq. Setiap hari, kata mereka lagi, partai itu membantai 4.500 orang selama 74 tahun di 75 negara.
Masih dalam puisinya, sang penyair besar Indonesia kemudian menjawab dengan penjelasan betapa partai komunis berusaha merebut kekuasaan dengan kerja paksa, sampai orang-orang berjatuhan nyawanya. “Mereka membantai bangsanya sendiri,” ujar Taufiq.
Ia membacakan puisi itu di tengan Simposium Nasional Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, pertengahan April lalu. Puisi itu membuat Taufiq, mengutip pemberitaan banyak media, disoraki sebagai ‘provokator’ dan diusir keluar ruangan oleh panitia simposium.
Namun menurut versi Taufiq, bukan itu yang terjadi. Pertama, ia datang ke simposium atas inisiatif sendiri lantaran ingin membacakan puisi di hadapan peserta simposium. Kesempatan untuk itu baru didapat Taufiq di hari ke-dua simposium.
“Orang-orang di sana kebanyakan ‘kiri.’ Mereka pada teriak, ‘Huuu.’ Mereka mengganggu saya waktu menyampaikan soal pembantaian itu. Pakai mikrofon saya balas teriak, ‘Huuu.’ Saya lanjutkan, diteriaki lagi. Saya diamkan, lalu saat sudah tenang saya teriak lagi, ‘Huuu.’ Ruangan penuh suara. Sambung menyambung begitu terus sampai selesai,” cerita Taufiq, saat berbincang dengan CNN Indonesia, beberapa waktu lalu.
Taufiq mengatakan, setelah itu ia duduk dan kelelahan. “Saya lalu permisi keluar dan salaman dengan ketua panitia. Saya pulang,” ia melanjutkan cerita.
Taufiq sendiri kaget saat berita yang muncul kemudian adalah dirinya diusir.
Penulis Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia itu tak memungkiri, banyak yang tidak suka lantaran dirinya anti-PKI. Apalagi mereka yang disebutnya golongan ‘kiri.’ Bahkan kawan-kawannya sendiri sesama seniman.”Tapi saya harus sabar. Ada dari teman-teman sendiri, tapi itu biasa,” katanya. Ketimbang dulu, era 1964 sampai 1966, kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’ nyaris saling bunuh.
Merunut Sejarah PKI
Taufiq tidak merasa malu atau minder. Sebab ia punya alasan kuat dan merasa yang disampaikannya adalah fakta yang tidak dibelokkan atau ditutup-tutupi.
Sikap anti-PKI Taufiq bermula saat ia membaca semacam buku ‘pedoman’ bagi internal PKI, yang digagas oleh Vadim Valentinovich Zagladin, politikus Soviet yang menulis World Communist Movement. Dalam buku itu, Taufiq bercerita, disebutkan ada 17 langkah bagi partai komunis untuk merebut kekuasaan. “Nomor satu sekali berdusta. Yang lain seperti memalsukan dokumen. Nomor 17, membunuh atau membantai,” ujarnya.
Taufiq pun merasakan tanda-tandanya. Partai-partai Islam dibubarkan, media dibreidel. Manifesto Kebudayaan di mana ia ikut tanda tangan, diperlakukan bak musuh negara. Taufiq pernah digagalkan menerima beasiswa ke Amerika dan dipecat lantaran terlibat Manifesto Kebudayaan itu.
Dirunut-runut ke belakang, Taufiq semakin mempelajari bahwa PKI sudah ingin merebut kekuasaan dengan cara kekerasan sejak lama, jauh sebelum peristiwa 1965.
PKI lewat salah satu petingginya, Musso, sudah pernah memproklamirkan Republik Soviet Indonesia di Madiun pada 1948. Taufiq bercerita, anggota PKI membantai umat Muslim di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Percobaan perebutan kekuasaan itu ternyata gagal.
Era 1965 kemudian dianggap cukup matang. Apalagi PKI sudah punya rencana yang digagas DN Aidit dan Njoto. Mereka menyusupkan anggota PKI ke tentara, Letkol. Untung. Ia kemudian disebut sebagai dalang upaya pembunuhan tujuh jenderal.
“Tapi di belakang itu sebenarnya PKI. Begitu mendengar itu, umat Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur marah, karena sebelumnya ada tragedi 1948. Penyembelihan kyai-kyai di kolam sekitar 6×7 meter itu teringat terus karena tidak pernah diadili,” ujar Taufiq menjelaskan.
Ketika 17 tahun kemudian PKI kembali ‘berulah,’ orang-orang Jawa Tengah dan Jawa Timur berpikir, lebih baik mereka membantai PKI lebih dahulu sebelum kembali dibantai PKI.
“Orang-orang PKI dijagal umat Islam, betul itu terjadi. Tapi itu tidak ujug-ujug. Peristiwa 1965 katanya harus masuk Mahkamah Internasional, melanggar HAM. Tapi peristiwa 1948 tidak pernah disebut,” tutur Taufiq lagi. Angka pembunuhan partai komunis di dunia yang disebut Taufiq dalam puisinya, termasuk beberapa kali pembantaian di Indonesia.
“Partai komunis dalam sejarahnya melakuan perebutan kekuasaan di 76 negara, berhasil di 28 negara. Di Indonesia tiga kali: 1926, 1948, dan 1965. Ketiganya gagal,” lanjutnya.
Belakangan, komunisme tidak lagi menjadi ideologi yang ‘laku.’ Uni Soviet pun bubar.
Tapi di Indonesia, Taufiq merasa ada komunis gaya baru. Kata Taufiq, mereka berjingkrak saat reformasi bergulir dan kembali menerbitkan buku-buku dengan ideologi lama yang dahulu dilarang. Taufiq pro-pemerintah yang menyita buku-buku itu belakangan.
“Anak-anak muda yang membacanya percaya. Mereka harus baca sejarah. Sekarang semua berlindung di belakang HAM. Kalau HAM mau ditegakkan, tegakkan dulu untuk orang yang dibantai di 24 kota dan desa di Madiun tahun 1948,” ujar Taufiq menggebu-gebu. [ngel]