www.gelora.co - Ketegasan Gatot Nurmantyo (GN) dalam menginstruksikan jajaran TNI menonton film kuno G30S PKI menuai kontroversi.
Kontroversi yang muncul di satu sisi ada pihak yang menilai film tersebut bias politik kepentingan order baru Dan TNI Orba, yang membuat film ketika itu untuk kepentingan propaganda anti komunis. Sedangkan saat ini, paska reformasi, demokrasi menjadi acuan berpolitik. Perbedaan pandangan politik dan sikap politik merupakan otoritas sipil. Tentara hanya boleh menunggu Komando pemimpin sipil, yakni Presiden yang terpilih.
Di sisi lain, banyak pihak mendukung langkah Panglima TNI ini. Selain mayoritas purnawirawan militer dan kalangan sipil yang merasa korban dari G30S PKI, yang dianggap sebagai pengkhianatan dan pemberontakan kaum komunis, dukungan ke GN juga karena persepsi publik bahwa GN adalah sosok pemimpin ideal semakin meluas.
Banyaknya pandangan pandangan GN yang dapat ditonton di YouTube, berbagai media dan juga media sosial yang menunjukkan kepeduliannya mengenai kedaulatan Bangsa telah menempatkannya sebagai pemimpin besar. Sehingga, meskipun demokrasi membatasi posisi TNI berpolitik, namun rakyat memberikan apresiasi yang tinggi bagi GN untuk setiap langkahnya, meskipun kontroversial.
Kegagalan Demokrasi
Demokrasi sudah berjalan hampir 20 tahun sejak 1998. Tentara sudah menghilangkan fungsi politiknya. Tidak ada lagi tentara menjabat dirjen-dirjen, jadi kepala daerah dlsb sebagaimana biasa terjadi di masa orde baru. Bahkan, fungsi tentara menseleksi calon pegawai negeri, kepala daerah, menangkapi orang orang politik yang beroposisi terhadap pemerintah, dll sudah ditinggalkan. Sudah 20 tahun tentara kembali ke barak, mengurusi urusan pertahanan nasional. Di bandingkan berbagai negara seperti Turki Dan Mesir, ataupun Thailand misalnya, pengaruh tentara dalam politik masih sangat besar. Di Mesir, kita lihat pemerintah sipil hasil pemilu di kudeta oleh militer, karena militer menganggap Ikhwanul Muslimin berbahaya bagi Mesir.
Persoalnnya kemudian adalah apakah demokrasi menjawab tuntutan reformasi 98 yang menginginkan adanya pemerintahan sipil yang bebas korupsi serta bekerja untuk kesejahteraan rakyat?
Dalam masa hampir 20 tahun ini pula kita menyaksikan korupsi semakin parah. Setengah dari jumlah kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Ketua DPR terindikasi kuat sebagai tersangka korupsi. Berbagai pimpinan birokrasi semakin korup.
Kesejahteraan rakyat juga tidak bertambah baik. Indeks kemiskinan semakin parah. Koefisien Gini based on income dan based on wealth semakin parah. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Menjadi pejabat ongkos mahal dan target menjabat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga saja.
Dalam posisi ini, partai politik sebagai pilar demokrasi gagal memproduksi politisi yang santun, dedicated dan berjiwa pengabdian. Sebuah kegagalan kaderisasi dan sekaligis eksis tanpa visi.
Kegagalan demokrasi ini serta situasi kebangsaan yang amburadul menjadi pembanding nyata antara hadirnya TNI dalam menjalankan kehidupan berbangsa versus tanpa TNI. Semakin banyak pihak yang berubah persepsi, ternyata kehadiran TNI dalam sejarah politik kita bukanlah hal buruk, secara relatif. Inilah alasan utama kenapa saat ini ketika Panglima TNI mempunyai pandangan dan sikap politik, yakni urusan PKI, yang seharusnya masalah sipil, dan Presiden Jokowi seperti berbeda dengan Panglima, lebih terkesan meluas dukungan publik terhadap kehadiran TNI berpolitik.
Senjata illegal 5000 pucuk
Kemarin, Panglima TNI menyampaikan adanya rencana memasukkan 5000 pucuk senjata illegal, yang mencatut nama Presiden. Hal ini disampaikan dihadapan purnawirawan. GN menyampaikan tidak segan-segan menggunakan kekuatan tentara untuk membuat pihak pihak "tersebut" lebih dari menangis.
Pernyataan Panglima ini betul-betul menyentak perhatian. Sebab, 5000 pucuk senjata itu bisa membangun lebih dari 5 batalion pasukan perang. Siapakah pihak yang dimaksud GN tersebut?
Meski hal ini belum diungkap ke publik, kita menjadi terkenang dengan rencana komunis di masa orde lama untuk membangun angkatan kelima. Jika di masa lalu rencana itu jelas terbuka, bagaimana dengan saat ini? Benarkah situasi politik nasional sangat genting, sehingga ada pihak yang memasukkan senjata secara illegal?
Dihadapan Purnawirawan kemarin, dalam kondisi saat ini, Panglima TNI mengatakan dirinya akan mengambil langkah langkah ekstra ordinari. Khususnya jika senjata senjata yang akan dimasukkan secara illegal akan memiliki kemampuan seperti roket anti tank dan senjata berat lainnya, yang khusus mengimbangi TNI.
Sebagai masyarakat sipil yang masih ingin demokrasi berjalan, tentu kita berharap tentara menahan diri. Tapi, jika memang demokrasi sudah mati suri, dan rakyat tidak bisa berharap lagi pada demokrasi, maka kehadiran tentara dalam politik kita akan didukung rakyat. [tsc]
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan