Forjim: Ada Framing Media dalam Pemberitaan Muslim Rohingya

Forjim: Ada Framing Media dalam Pemberitaan Muslim Rohingya

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Tidak beriman jika kalian tidak mencintai saudaranya, seperti ia mencintai dirinya sendiri. Karena itu kecintaan kita pada saudara Muslim, khususnya muslim Rohingya adalah bagian dari keimanan.

Demikian kata pembuka Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Forum Jurnalis Muslim (Forjim) Dudy S. Takdir dalam Tabligh Akbar "Rohingya Jeritanmu Panggilan Jihad" di Masjid Al-Ikhlas, Paradise Serpong City, Serpong, Tangerang Selatan, Ahad (17/9) pagi.

Hadir dalam Tabligh Akbar tersebut, Ustadz Abu Jibril (Majelis Mujahidin) dan Ustadz Mukhlis (Aktivis Gerakan Islam LPPDI Thariquna).

"Muslim Rohingya adalah bagian dari tubuh kita. Kalau kita tidak peduli dengan penderitaannya, abai terhadap hak-hanya, kelak di hari kiamat nanti, Allah akan tanya, kenapa kalian tidak peduli dengan saudara muslim Rohingya yang dibantai oleh Pemerintah dan militer Myanmar?," kata Dudy.

Sebelumnya, dia menginformasikan, Forjim adalah sebuah wadah bagi jurnalis muslim untuk mengimbangi sekaligus mengcounter informasi yang selama ini menyudutkan Islam dan umat Islam dimana pun berada. Saat ini Forjim memiliki 100 anggota jurnalis Muslim dengan media yang berbeda, baik media Islam maupun media nasional.

"Pekan depan Forjim, Insya Allah akan memberangkatkan empat orang anggotanya untuk meliput pengungsi Muslim Rohingya. Kami berbagi tugas, ada yang berangkat ke perbatasan Bangladesh, kemudian pengungsi Rohingya di Malaysia, dan sedang diupayakan untuk bisa masuk ke Rakhine State, Myanmar. Seperti diketahui, banyak kabar hoax, misinformasi yang tersebar, hingga framing media dalam memberitakan muslim Rohingya," urai Dudy.

Dudy yang pernah bekerja di Majalah Gatra menjelaskan posisi muslim Rohingya yang berada di bagian barat laut Myanmar. Tak heran jika terjadi pembantaian, mereka eksodus besar-besarana ke Bangladesh.

"Komposisi penduduk Myanmar, terdiri 135 kelompok, meliputi: Bamar, Shan, Karen, Rakhine, Rohingya, Kachin, Chin, Karenni, Mon, Wa, dan Kokang Chinese. Diantara banyak etnis di Myanmar, hanya satu yang tidak diberikan hak-haknya sebagai warga negara Myanmar, yakni etnis Rohingya, yang penduduknya mayoritas muslim," jelas Dudy.

Dalam makalahnya yang berjudul "Konflik Rohingya dalam Lintasan Sejarah", Dudy memaparkan sejarah yang ditlis oleh sejarawan Myanmar, bahwa bukti artefak berupa koin menunjukan keberadaan etnis Rohingya di kerajaan Islam Arakan sudah ada sejak abad ke-8. Wilayah itu kini terbagi di dua negara, Rakhine di Myanmar dan Bengal di Bangladesh.

Kemudian, pada tahun 1799, Francis Buchanan (sejarawan Scotlandia) menerbitkan A Comparative Vocabulary of Some Languages of Burma Empire. Di sana disebut pertama kali kata Rooinga atau Rohingya.

"Penelitian itu mematahkan argumenP emerintah Myanmar yang menyebut etnis Rohingya adalah warga pendatang atau masuk belakangan. Padahal, etnis Rohingya sudah masuk Arakan sebelum Burma berdiri," kata Dudy.

Tahun 1824, Inggris menginvasi Burma.

Selanjutnya, tahun 1937, Provinsi Burma terbentuk dan terpisah dari koloni British India. Tahun 1947, Undang-Undang Dasar Provinsi Burma terbentuk. Etnis Rohingya mengikuti pemilu untuk memilih perwakilan di dewan provinsi.

Pada 1948, Burma merdeka dari Inggris. Negara Serikat Burma berdiri. Kemudian, tahun 1959, Rohingya diakui sebagai salah satu ras di Burma oleh Perdana Menteri U Ba Sue. Mereka memiliki hak konstitusi yang sama dengan etnis lainnya.

Pada tahun 1962-1978, Jenderal Ne Win mengudeta PM U Nu. Junta militer Myanmar menggelar operasi Naga Min. Etnis Rohingya mulai diburu dan dibantai.

Selanjutnya tahun 1982, berlaku UU baru. Untuk mendapatkan hak kewarganegaraan, etnis Rohingya harus membuktikan leluhur mereka telah berdiam di Myanmar sejak 1823. Akibatnya 800.000 orang kehilangan status.

Tahun 1994, anak yang lahir dari etnis Rohingya tak lagi mendapat akta kelahiran. Tahun 2012, Konflik horizontal pecah antara etnis Rohingya dan Rakhine. 135.000 warga Rohingya kehilangan rumah dan tinggal di kamp pengungsian di Sittwe, Rakhine.

Tahun 2014, sensus penduduk pertama sejak 30 tahun. Rohingya tak masuk daftar 135 etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Pada 2015, Warga Rohingya tidak bisa ikut pemilu.

Dudy mencatat, Oktober 2016, Kelompok pejuang Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang pos polisi sebagai balasan atas tindakan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya selama puluhan tahun.

Bulan Agustus 2017, ARSA kembali menyerang 24 pos polisi di Rakhine. Militer dan milisi Budha membalas dengan serangan membabi-buta. Mengakibatkan gelombang pengungsian secara besar-besaran.

Framing Media

Kemudian Dudy juga menjelaskan, bagaimana media memandang konflik Rohingya dengan framingnya?

CNN Indonesia misalnya menulis, Laporan International Crisis Group menyebut ARSA didukung dan diawasi oleh sebuah komite beranggota puluhan pemimpin senior di Madinah, Arab, Saudi.

Framing lainnya adalah seluruh petinggi ARSA adalah imigran atau keturunan Rohingya. Mereka semua juga dikabarkan mempunyai jaringan di Bangladesh, Pakistan hingga India.

Ironisnya lagi, Pemerintah Aung San Suu Kyi menuding ARSA berafiliasi dengan kelompok militan Taliban Pakistan. Myanmar menganggap ARSA sebagai kelompok teroris.

"Framing media terkait pemberitaan Rohingya, yang awalnya sepakat sebagai korban kekejaman militer dan pemerintah Myanmar. Tapi kemudian, ARSA menjadi kambing hitam dan dilabeli teroris," ucap Dudy.

BBC menulis, eksodus Rohingya ke Bangladesh terjadi setelah sekelompok gerilyawan Rohingya menyerang pos polisi, menewaskan 12 orang.

"Pejuang ARSA bahkan dikait-kaitkan dengan ISIS dan al Qaida, padahal ARSA bukan bagian dari mereka. Dalam sebuah statemennya, ARSA ada untuk menegakkan keadilan di bumi Arakan," jelas Dudy.

Framing media pun terjadi. ARSA dikatakan sebagai biang keladi terjadi eksodus besar-besar muslim Rohingya ke Bangladesh. "Aneh," tukas Dudy.

Media nasional seperti detik.com, kompas.com membuat framing, ARSA sebagai biang kerok penyebab eksodus besar-besaran muslim Rohingya. Bahkan ada media yang membebek pada media internasional yang sudah jelas framingnya.

"Ironinya, ada statemen dari beberapa orang yang sok toleran, menyebut bahwa derita yang dialami Muslim Rohingya hanya perebutan sumber daya alam, bukan masalah agama, tapi politik dan sebagainya. Mereka ini seperti menutup mata terhadap fakta yang terjadi," tandasnya.

Dudy menegaskan, ada benang merah dari framing pemberitaan media tentang Rohingya, yakni mencari kambing hitam dari kelompok pejuang yang membela kehormatan muslim Rohingya. Sementara pelanggaran yang dilakukan junta milter Myanmar dan ekstrimis Budha tidak dipersoalkan. Padahal, jika dibawa ke Mahkamah Internasional, pemerintah Myanmar bisa diberi sanksi karena pelanggaran HAM yang dilakukan.

"Jadi framingnya adalah pejuang yang membela kehormatan muslim Rohingya yang dibantai, tidak boleh melawan, mereka dibiarkan pasrah, meski ibu dan adik perempuan mereka telah diperkosa dan dibunuh secara kejam. Ketika muslim Rohingya melawan dengan mengangkat senjata, maka framing media akan menyebutnya sebagai teroris, kelompok radikal, anarkis dan stigma lainnya. Dan itu terjadi di beberapa negara yang muslimnya tertindas," tutur Dudy prihatin. [smc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita