GELORA.CO - Sedikitnya 16 persen penduduk di Kota Solo mengalami gangguan kejiwaan dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan seperti kecemasan yang berlebihan hingga skizofrenia atau kegilaan.
Gangguan kejiwaan tersebut menjadi penghambat produktivitas seseorang, apalagi di masyarakat muncul stigma negatif bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa sama dengan gila.
"Padahal yang sampai pada taraf skizofrenia tidak lebih dari sepermil atau seperseribunya," kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Surakarta Prof Dr dr H Much Syamsulhadi SpKJ, saat dihubungi Tempo, Kamis (12/5).
Berdasarkan hasil survei tim kesehatan jiwa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo pada tahun 2000 lalu, penderita gangguan jiwa di Kota Solo mencapai 16 persen.
Gangguan kejiwaan yang terdeteksi tetapi jumlahnya tidak signifikan adalah paranoid dan gangguan orientasi seksualnya dalam berbagai variasi.
"Meski belum ada angka pastinya, ada kecenderungan dari tahun ke tahun jumlah penderita gangguan jiwa di Solo meningkat sebagaimana trend dunia,” ujar Syamsulhadi.
Tetapi jangan salah, dia mengingatkan, orang yang terkena gangguan jiwa jangan diartikan gila atau mengalami kelainan. Dalam ilmu kejiwaan, orang yang gelisah, cemas termasuk dalam kategori mengalami gangguan jiwa.
Meski trend penderita gangguan kejiwaan diperkirakan naik, menurut Syamsulhadi yang juga Rektor UNS, tapi jumlah penderita yang menjalani perawatan di RSJ hanya mencapai 186 orang. Menurut dia, hal itu karena banyak orang taku dianggap gila jika berobat ke RSJ. [tempo]